Ratusan Masyarakat Morowali Tuntut Ganti Rugi Tanaman Tumbuh di PT Hengjaya Mineralindo

Oyisultra.com, SULAWESI TENGAH – Ratusan masyarakat dari Desa Tandaoleo dan Lafeu Kecamatan Bungku Pesisir, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng) menggelar aksi meminta menghentikan segala bentuk aktivitas pertambangan PT Hengjaya Mineralindo.

Sebanyak 143 pemilik lahan tersebut, meminta penghentian aktivitas pertambangan sebelum pihak perusahaan membayarkan tali asih dan ganti rugi tanaman tumbuh milik masyarakat.

Ketua Forum Pemerhati Tambang Sulteng, Siddiq Muharam menyampaikan, bahwa demonstrasi tersebut merupakan bentuk kekecewaan masyarakat selama ini.

“Kurang lebih 5 tahun kami melakukan segala upaya mediasi, baik di tingkat pemerintah desa, kecamatan maupun tingkat pemerintah kabupaten,” ujar Siddiq Muharam melalui siaran persnya yang diterima media ini, Minggu (25/12/2023).

Kata Siddiq, PT Hengjaya Mineralindo selalu mengabaikan keputusan pemerintah di Morowali, terkait dengan status lahan tanaman tumbuh masyarakat di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tersebut.

Masyarakat dari Desa Tandaoleo dan Desa Lafeu saat menuntut pembayaran ganti rugi tanaman tumbuh

Selain itu, lanjut Siddiq, upaya mediasi selama kurang lebih 4 tahun ini sudah melahirkan beberapa rekomendasi tertulis salah satunya hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPRD Morowali agar PT Hengjaya Mineralindo segera membayarkan tali asi dan ganti rugi tanaman tumbu milik masyarakat.

Sementara itu salah satu pemilik lahan, Ros mengatakan, sehari-harinya mereka mengolah lahan tersebut untuk keberlangsungan hidup.

“Kami ini rakyat kecil sehari-hari sebagai petani, kami mengelola tanah negara untuk hidup pak, bukan cari keuntungan, kami hidup dari hasil kebun, suami kami sudah tua tidak bisa diterima lagi kerja di perusahaan,” kata Ros.

“Kami selama ini hidup dari hasil kebun, kebun kami di palang saat pergi panen, sudah 4 tahun kami tidak bisa nikmati hasil kebun kami, bahkan tanaman kami di rusak dan ditebang oleh perusahaan,” sambung Ros lagi.

Ros menekankan, bahwa masuknya perusahaan selama ini bukan menambah perekonomian masyarakat lingkar tambang, justru merusak tatanan kehidupan sehari-hari sebagai petani.

“Saat ini sudah masuk musim jambu mete, harusnya kami sudah bisa menikmati hasil kebun kami, tapi kenyataan kami masuk dalam areal kebun kami di usir pihak keamanan perusahaan. Bahkan mereka melihat kami sebagai pencuri, di kebun kami sendiri,” pungkasnya.

REDAKSI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *