Pilkada dan Illegal Mining: Sebagai Jaringan Konspirasi Calon Gubernur Sulawesi Tenggara

Oleh : Indra Dapa Saranani, Aktivis dan Pemerhati Politik Lokal dari Fakultas Teknik Jurusan Teknik pertambangan Universitas Muhammadiyah Kendari (UMK), yang juga Sekretaris Umum HMI MPO Cabang Kendari Raya

Oyisultra.com, KENDARI – Pola jaringan predator tambang dalam Pilkada. Salah satu arena membangun jaringan konspirasi predator tambang adalah pada momen pemilihan kepala daerah atau Pilkada. Keterlibatan predator ranjau di balik permodalan demokrasi, bertindak sebagai broker politik atau pendukung pemodal, serta strategi membangun patronase dengan penguasa wilayah.

Kapitalisasi demokrasi, lanskap politik lokal di Provinsi Sulawesi Tenggara, isu pertambangan selalu mewarnai pemasaran politik di kalangan para aktor yang berjuang di ajang demokrasi (Pemilu).

Keterlibatan pengusaha pertambangan dibalik kapitalisasi Pilkada menjadi ajang persekongkolan dan patronase ekonomi dan politik. Konspirasi dan perlindungan ekonomi dan politik telah membentuk kepentingan tersembunyi untuk monopoli predator pengelolaan tambang.

Hal tersebut merupakan cerminan dari kelangkaan ekonomi yang berupaya mengakumulasi sumber daya ekonomi lokal dan dikuasai oleh segelintir orang, karena memiliki kedekatan dengan aparat yang memberikan perlindungan. Pada bagian tulisan ini juga dikemukakan, bahwa kelompok predator telah menjadikan persoalan ranjau sebagai ajang persekongkolan dalam proses pemilihan kepala daerah.

Pasca berakhirnya kekuasaan Soeharto, saat ini kekuasaan tambang telah bergeser dari predator pusat menjadi predator daerah, atau ditangkap oleh elit lokal sejalan dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.

Dalam lanskap politik lokal di Provinsi Sulawesi Tenggara, setiap peristiwa politik, isu pertambangan menjadi trending topik dan
pemasaran politik di tengah pragmatisme politik masyarakat.

Dibalik peristiwa politik politik. Misalnya pemilihan bupati, gubernur, dan pemilihan anggota legislatif, selalu terkait dengan persoalan pertambangan.

Pemilu sebagai proses demokratisasi disandera oleh kekuatan modal. Aktor lokal dan predator tambang bekerja sama membangun kekuatan untuk mendukung calon penguasa lokal dan memposisikan diri sebagai pembuat lakon yang dapat benturan model konspirasi predator tambang lainnya, selain menjadi ajang pemilihan kepala daerah untuk pembangunan jaringan konspirasi adalah proses meninggalkan kegiatan penambangan liar.

Berbagai faktor yang mendorong terjadinya kegiatan penambangan liar antara lain, meningkatnya permintaan nikel, tidak aktifnya pemegang izin, kurangnya kesadaran hukum masyarakat, kemudahan penambangan batubara di lapangan. Pelaku penambangan liar adalah pemilik modal, pemilik alat (alat berat dan angkutan), penambang.

Saya berharap pemerintah provinsi Sulawesi Tenggara menjadi prioritas utama dalam memeriksa konspirasi korporat dan elit politik di Sulawesi Tenggara, dan juga menjadi tumpukan beban moral oleh masyarakat Sulawesi Tenggara yang menjadi korban berzinahan para elit politik di dunia tambang dan menjadi kerugian besar masyarakat dan negara dalam konspirasi koruptor Sulawesi Tenggara.

Aktor politik, dalam Pilkada tidak beroperasi secara individu melainkan berkolaborasi secara terstruktur dengan aktor lain. Semua itu bisa efektif dilakukan karena dukungan dana yang melimpah dalam Pilkada merupakan instrumen seleksi dan melahirkan elit politik atau otoritas lokal untuk kredibilitas, namun Pilkada justru menggeser makna menjadi arena pembusukan
demokrasi.

Pilkada membutuhkan banyak uang oleh parpol atau calon yang bertarung di Pemilu. Secara empiris, ada dua modus yang bisa digunakan aktor politik dalam pemilu.

Pertama, langsung maju. Kedua, tidak langsung maju sebagai calon tetapi merupakan penggalangan dana bagi calon yang maju dalam pemilu dengan membiayai semua calon yang maju, sehingga setiap calon yang
memenangkan pemilu tidak akan menjadi masalah dan tetap akan menguntungkan para penjudi politik.

Predator oligarki dalam Pilkada di tahap demokrasi saat ini tampaknya membentuk sistem simbiosis mutualistik, dengan kondisi masyarakat yang saat ini sedang mengalami keterpurukan ekonomi dan sosial. Dunia demokrasi pasca kejatuhan rezim Soeharto cenderung mengarah pada otoritarianisme baru dalam demokrasi.

Maraknya pemilik modal pendukung dalam Pilkada menanam dananya di Pilkada, karena diyakini akan mendapat limpahan bila calon yang didukungnya menang.

REDAKSI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *