Prevalensi Stunting di Indonesia

Oleh : Yusniatin, Mahasiswa Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Mandala Waluya Kendari

Oyisultra.com, KENDARI – Dilansir dari PAUDPEDIA — Stunting masih menjadi masalah kesehatan serius yang dihadapi Indonesia. Berdasarkan data Survei Status Gizi Nasional (SSGI) tahun 2022, prevalensi stunting di Indonesia di angka 21,6%. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 24,4%.

Namun demikian, stunting masih tetap termasuk dalam salah satu isu prioritas nasional. Khususnya setelah Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk. Penetapan ini didasarkan pada fakta kasus stunting di Indonesia melebihi batas toleransi yang ditetapkan WHO, yakni maksimal seperlima dari jumlah keseluruhan balita (sekitar 20 persen). Bahkan setelah terjadi penurunan hingga tujuh persen, jumlah balita stunting di Indonesia masih berada pada angka 30,7 persen.

Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan stunting? Apa saja dampak yang bisa muncul sehingga kondisi ini dianggap sebagai isu yang penting? Biar lebih jelas, cari tahu fakta simak uraian seputar stunting di artikel berikut ini!

Stunting adalah kondisi ketika anak memiliki tinggi badan yang lebih pendek dari tinggi badan rata-rata yang seharusnya sesuai dengan usianya. Hal ini terjadi karena anak mengalami kekurangan gizi dan perawatan yang tidak memadai pada periode seribu hari pertama kehidupan, yaitu sejak masa kehamilan hingga anak berusia 2 tahun.

Periode seribu hari pertama kehidupan sangat penting karena pada masa ini, pertumbuhan dan perkembangan otak serta organ tubuh lainnya berlangsung sangat pesat. Jika anak tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup, termasuk protein, energi, vitamin, dan mineral penting, maka pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitifnya dapat terhambat. Stunting dapat berdampak negatif pada kesehatan dan kualitas hidup anak dalam jangka panjang, termasuk mengurangi kemampuan belajar, menurunkan produktivitas di kemudian hari, dan meningkatkan risiko penyakit kronis pada masa dewasa.

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan stunting meliputi:

1. Kurangnya asupan gizi yang cukup selama masa kehamilan.

2. Pemenuhan gizi yang tidak memadai selama periode menyusui atau memberi makan pada anak.

3. Lingkungan yang tidak higienis dan kurang akses terhadap air bersih.

4. Penyakit infeksi yang sering terjadi, seperti diare, infeksi pernapasan, dan parasit.

Prevalensi stunting dapat berbeda-beda di berbagai wilayah dan negara, dan masalah ini lebih umum terjadi di negara-negara berkembang atau masyarakat dengan tingkat kemiskinan yang tinggi.

Disampng itu terdapat beberapa indikator yang digunaakan sebagai acuan untuk mengidentifikasi fenomena stunting. Beberapa diatara ndikator stunting sendiri mengacu pada parameter-parameter yang digunakan untuk mengidentifikasi dan mengukur tingkat prevalensi stunting pada populasi anak.

Stunting adalah kondisi ketika anak memiliki tinggi badan yang lebih pendek dari tinggi badan rata-rata yang seharusnya sesuai dengan usianya. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan fisik anak tersebut tidak sesuai dengan perkembangan normal pada usianya dan dapat terjadi karena kurang gizi dan perawatan yang tidak memadai pada periode seribu hari pertama kehidupan.

Berikut adalah indikator stunting yang umum digunakan:

1. Panjang/Tinggi Badan untuk Umur (Length/Height-for-Age): Indikator ini mengukur perbedaan antara tinggi badan anak dengan tinggi badan rata-rata yang diharapkan pada usianya. Hasilnya diekspresikan dalam Z-score, yang menunjukkan berapa standar deviasi antara tinggi badan anak dengan nilai rata-rata WHO (World Health Organization) untuk usianya. Stunting terjadi ketika anak memiliki Z-score kurang dari -2.

2. Berat Badan untuk Umur (Weight-for-Age): Indikator ini mengukur perbedaan antara berat badan anak dengan berat badan rata-rata yang diharapkan pada usianya. Jika anak memiliki Z-score kurang dari -2, maka.mengindikasikan adanya masalah gizi akut (underweight), yang juga dapat berkontribusi pada stunting.

3. Berat Badan untuk Tinggi Badan (Weight-for-Height/Length): Indikator ini menunjukkan berat badan anak dibandingkan dengan tinggi badan atau panjang badannya. Jika anak memiliki Z-score kurang dari -2, maka mengindikasikan adanya gizi akut (wasting), yang juga bisa berhubungan dengan stunting.

4. Indeks Massa Tubuh (Body Mass Index/BMI-for-Age): Indeks Massa Tubuh dihitung dengan membagi berat badan anak dalam kilogram dengan tinggi badan dalam meter pangkat dua. Jika anak memiliki Z-score kurang dari -2, maka mengindikasikan adanya masalah gizi (underweight) dan dapat berhubungan dengan stunting.

5. Lingkar Lengan Atas (Mid-Upper Arm Circumference/MUAC): Pengukuran ini jarang digunakan untuk menilai stunting, tetapi dapat membantu mendeteksi masalah gizi lainnya, seperti wasting atau malnutrisi akut.

Dengan menggunakan indikator-indikator di atas, para ahli kesehatan dan pemerintah dapat mengidentifikasi tingkat prevalensi stunting di suatu daerah atau negara, serta merancang program intervensi yang tepat untuk mengatasi masalah gizi ini dan meningkatkan kualitas hidup anak-anak.

Dapat dilihatdari beberapa tahun kebelkang yang menunjukkan fenomena tingginya persentase stunting yang di Indonesia menghadapi masalah prevalensi stunting yang cukup serius. Seperti yang kita ketahui, stunting adalah kondisi gagal pertumbuhan pada anak-anak akibat kurang gizi dan perawatan yang tidak memadai pada periode seribu hari pertama kehidupan, yaitu dari sejak masa kehamilan hingga anak berusia 2 tahun. Kondisi ini bisa berdampak buruk pada perkembangan fisik dan mental anak, serta dapat berpengaruh pada produktivitas dan kualitas hidup di masa depan.

Beberapa faktor yang berkontribusi pada prevalensi stunting di Indonesia antara lain:

1. Gizi buruk: Banyak anak-anak di Indonesia yang mengalami kekurangan gizi, terutama dalam hal asupan protein, energi, zat besi, dan vitamin A.

2. Akses terhadap pangan berkualitas rendah: Di beberapa wilayah, terutama di daerah pedesaan dan perkotaan miskin, sulit untuk mendapatkan akses terhadap pangan yang berkualitas dan bergizi.

3. Air bersih dan sanitasi: Kondisi sanitasi yang buruk dan akses terbatas terhadap air bersih dapat menyebabkan masalah kesehatan yang mempengaruhi pertumbuhan anak.

4. Pendidikan kesehatan: Kurangnya pengetahuan tentang gizi yang baik dan pola makan yang sehat juga menjadi faktor penyebab stunting.

5. Kemiskinan: Kemiskinan merupakan salah satu faktor yang signifikan dalam menentukan prevalensi stunting, karena keluarga miskin cenderung memiliki akses terbatas terhadap pangan bergizi dan layanan kesehatan yang memadai.

Oleh karenanya, Pemerintah Indonesia telah menyadari masalah ini dan berupaya mengurangi prevalensi stunting melalui program-program yang berfokus pada pencegahan, intervensi gizi, perbaikan sanitasi, dan edukasi kesehatan. Program-program pemberdayaan masyarakat juga dijalankan untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya gizi yang baik bagi pertumbuhan anak.

Pencegahan dan penanganan stunting yang kini menjadi fokus penting bagi kesehatan masyarakat dan pemerintah, kini diharapkan dapat dituntaskan dengan upaya melalui program-program nutrisi, pendidikan kesehatan, dan perbaikan akses terhadap pangan yang bergizi serta layanan kesehatan yang memadai. Upaya ini penting untuk memastikan bahwa anak-anak mendapatkan pertumbuhan dan perkembangan yang optimal agar dapat mencapai potensi maksimal dalam kehidupan mereka.

Meskipun begitu, penurunan prevalensi stunting memerlukan upaya berkelanjutan dan kolaborasi antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta, dan masyarakat secara keseluruhan. Perubahan yang signifikan dalam prevalensi stunting memerlukan waktu dan upaya bersama dari berbagai pihak untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Adapun cara pencegahan stunting yang dapat dilakukan diantaranya :

• Memenuhi gizi anak, terutama pada 1.000 hari kehidupan pertamanya. Salah satunya dengan memberikan ASI eksklusif selama enam bulan dan dilanjutkan hingga anak berusia dua tahun. MPASI bisa diberikan setelah anak berusia lebih dari enam bulan. Pastikan anak mendapatkan makanan bergizi seimbang selama masa pertumbuhannya.

• Rutin periksa tumbuh kembang anak ke Posyandu atau fasilitas kesehatan terdekat.

• Menjaga kebersihan air dan sanitasi. Salah satunya dengan menyediakan air bersih, rutin mencuci tangan pakai sabun, dan tidak buang air besar sembarangan.

Publisher : FITRI F. NINGRUM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *