Tenggelam Oleh Sampah Plastik

Oleh: Ikaningtyas Kartika Dewi
Mahasiswa Program Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Mandala Waluya Kendari

Oyisultra.com, KENDARI – Mikroplastik telah sampai di perairan Kota Kendari. Sebuah studi yang dilakukan oleh IPB pada tahun 2021, menemukan bahwa terdapat kelimpahan mikroplastik pada seluruh lokasi pengambilan sampel air di perairan Kota Kendari.

Penelitian itu juga menemukan bahwa organisme laut di perairan Kota Kendari mengandung mikroplastik. Artinya, ikan yang kita makan dari hasil tangkapan di Teluk Kendari, mengandung mikrolastik.

Hasil tersebut terdengar mencengangkan, namun sesungguhnya tidak ada yang aneh bila kita membuka mata dan bersedia mengakui banyaknya sampah plastik yang sudah mencemari perairan Kota Kendari.

Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) mengeluarkan data bahwa pada akhir tahun 2022, jumlah sampah Kota Kendari mencapai 269,8 ton per hari. Jumlah ini bukan bobot sampah yang sebenarnya karena banyak sampah rumah tangga yang tidak dibuang ke TPS atau diangkut oleh armada DKLH, melainkan sampah-sampah “ilegal” tersebut kemudian berakhir mencemari tanah dan air Kota Kendari, bahkan dapat bermigrasi mengikuti arus air laut hingga ke seberang pulau lain bahkan hingga perairan internasional.

Kondisi demikian berlangsung di seluruh wilayah pesisir Indonesia, membuat negara kita menjadi negara penghasil polutan air terbesar kedua setelah Tiongkok dengan jumlah sampah plastik di lautan sebesar 8,8 juta ton atau 27% dari jumlah total.

Betapa ironinya bahwa ada 195 negara di dunia ini, dan kitalah yang menyumbang nyaris sepertiga sampah lautan di dunia. Tidak heran bila Bank Dunia menyebutkan, kerugian ekonomi yang dialami Indonesia karena sampah mencapai 6,5 triliun rupiah setiap tahunnya. Masalah sampah ini juga menimbulkan dampak dan kerugian pada bidang kesehatan.

Riset yang dilakukan oleh para ilmuwan, bila hal ini berlangsung terus menerus, maka akan ada 1,3 miliar ton sampah yang dibuang ke lautan pada tahun 2040. Jumlah itu diprediksi akan meningkat sepuluh kali lipat pada tahun 2050. Dan sayangnya negara-negara penyumbang terbesar sampah ini belum menunjukkan komitmen yang kuat dalam upaya menanggulanginya.

Persoalan sampah ini sejatinya memang merupakan masalah yang pelik dan sulit diatasi. Berbagai upaya telah dilakukan dunia untuk menanggulangi masalah sampah, namun data yang berhasil direkam oleh Continuous Plankton Recorder (CPR), jumlah sampah plastik di lautan terus mengalami peningkatan 20-40% setiap tahunnya sejak tahun 1957 hingga hari ini.

Masalah sampah ini diperburuk dengan permasalahan Popok Sekali Pakai (Pospak) dimana menurut survei, sebesar 97,1% balita Indonesia menggunakan Pospak, yang berarti hampir seluruhnya. Pospak menyumbang 50% sampah plastik dunia. Pospak juga berkontribusi terhadap pencemaran tanah dan air tanah. Menurut UNICEF pada tahun 2022, 70% sumber air minum di Indonesia telah tercemar tinja. Ditenggarai, Pospak merupakan salah satu penyebabnya.

Pembuangan Pospak tanpa membersihkan tinja menyebabkan bakteri E.coli mencemari lingkungan. Walaupun menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kepemilikan jamban di Sulawesi Tenggara mencapai 89,4%, namun hal itu tiada artinya bila tidak memperhitungkan masalah tinja dalam pospak yang dibuang ke lingkungan.

Rumitnya masalah ini ditanggapi oleh pemerintah dengan upaya perluasan dan pemindahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah dan pengadaan incinerator. TPA Puuwatu Kota Kendari menggunakan sistem open dumping dan landfill yang merupakan sistem penanganan sampah paling korservatif dan tidak ramah lingkungan.

Kota Kendari juga memiliki beberapa incinerator untuk membakar sampah medis dengan teknologi modern hingga berat dan volumenya dapat susut masing-masing sebesar 70% dan 95-97%. Selain untuk medis, incinerator juga digadang-gadang dapat menangangi sampah rumah tangga. Namun apakah incinerator adalah jawaban dari permasalahan sampah? Sayangnya, tidak.

Mungkin kita terlalu lama meninggalkan bangku sekolah hingga lupa bahwa sejak SMP, guru Fisika di sekolah mengajarkan Hukum Kekekalan Energi yang dirumuskan pertama kali oleh James Prescott Joule bahwa “Energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan”.

Hal ini juga berlaku pada sampah. Walaupun volume dan beratnya susut, namun kandungan zat berbahaya yang terdapat di dalamnya tidak serta-merta hilang. Bila jumlah sampah harian Kota Kendari adalah 270 ton, seandainya semua jumlah itu dapat dibakar dengan incinerator, maka bobot sampah yang tersisa adalah 81 ton perhari. Jumlah yang masih sangat besar.

Bila menilik beratnya permasalahan sampah di Indonesia, khususnya Kota Kendari, maka incinerator merupakan alat teknologi kelola sampah yang wajib kita gunakan. Negara-negara maju di dunia ini sudah menggunakan incinerator sebagai salah satu cara mengatasi masalah sampah. Namun bila kita melihat kembali laporan dari negara-negara itu, incinerator bukanlah metode yang diprioritaskan untuk menangani sampah. Lalu bagaimana?

Sebanyak 60 negara di dunia ini telah berkomitmen terhadap “Zero Waste”. Artinya, negara-negara tersebut berusaha menghasilkan 0 jumlah sampah. Setidaknya, negara-negara ini berusaha menekan jumlah sampah mereka hingga mendekati 0.Sistem landfill dan incinerator jelas tidak dapat melakukan ini.

Lima negara dengan tingkat Zero Waste tertinggi adalah Jerman (66,1%), Wales (65,2%), Korea Selatan (59,5%), Austria (54%), dan Swiss (53%). Bahkan Kamikatsu, sebuah kota di Prefektur Tokushima, Jepang, telah berhasil menjadi contoh di dunia dalam mencapai 80% Zero Waste. Kota ini menargetkan pada tahun 2030 nanti dapat meraih Zero Waste 100%. Pulau Bomholm di Denmark juga memiliki tekad yang sama. Pulau yang terletak di Laut Baltik ini bahkan telah menyingkirkan metode landfill dan incinerator dalam pengelolaan sampahnya. Bagaimana kota-kota dan negara-negara tersebut melakukannya?

Jawabannya adalah Teknologi Daur Ulang! Teknologi daur ulang merupakan suatu metode pengelolaan sampah yang paling ideal. Metode ini paling mudah, paling murah, serta hasilnya paling baik untuk manusia dan lingkungan. Teknologi daur ulang berbasis pada tiga hal yang disebut 3R, yaitu Reduce (mengurangi sampah), Reuse (menggunakan kembali), dan Recycle (daur ulang).

Reduce atau mengurangi sampah berfokus pada tidak lagi menghasilkan sampah atau menambah sampah yang sudah ada. Bila tahap ini tercapai, maka tahap Reuse dan Recycle tidak lagi diperlukan. Contoh Reduce adalah mengurangi, bahkan meniadakan kemasan atau alat sekali pakai. Misalnya, kemasan air mineral botol sekali pakai, alat makan plastik sekali pakai, atau penggunaan kantong belanja plastik sekali pakai.

Reuse artinya menggunakan kembali. Ini berarti setelah kita menghindari semua yang bersifat sekali pakai, maka barang dan sampah yang ada dapat dimanfaatkan kembali. Misalnya, kita dapat memanfaatkan botol plastik bekas menjadi pot tanaman dan celengan atau penggunaan botol sabun dan sampo untuk membeli kembali refill atau isi ulangnya.

Recycle adalah tahap akhir ketika Reduce dan Reuse tidak dapat dihindari. Recycle adalah daur ulang bagi sampah yang masih memiliki nilai potensial produksi dan ekonomi. Usaha ini sudah dilakukan oleh berbagai pihak dalam mengelola sampah yang melimpah. Sayangnya menurut Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) Indonesia, hanya 9% sampah plastik yang berhasil didaur ulang. Sementara itu, hanya 19% yang dibakar dan 50% berakhir di tempat sampah. Sisanya, berakhir mencemari lingkungan kita. Sehingga penting artinya dapat memaksimalkan tahap Reduce dan Reuse pada Metode Teknologi Daur Ulang 3R.

Sejumlah kota di Indonesia telah berkomitmen untuk mengikuti langkah dunia dalam menerapkan Zero Waste, antara lain Kota Cimahi, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kota Denpansar, Kabupaten Gresik, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, dan Kota Surabaya. Kota Kendari pun juga mulai menggaungkan hal tersebut walaupun hingga saat ini, tidak terlihat program dan pergerakan berarti untuk mewujudkan komitmen Zero Waste.

Survei BPS tahun 2018 menunjukkan bahwa 72% masyarakat Indonesia tidak memiliki kepedulian terhadap sampah. Dan Survei Kesehatan Lingkungan, yang dilakukan mahasiswa program studi S2 Kesehatan Masyarakat Mandala Waluya pada bulan November-Desember 2022, menunjukkan tidak satupun rumah yang melakukan pemilahan dan pengolahan sampah mandiri di Kota Kendari. Masalah yang dihadapi warga bukan hanyalah persoalan keengganan dalam memilah sampah namun juga ketidaktahuan. Dari hasil tersebut, agaknya Zero Waste masih merupakan impian yang jauh untuk bisa diwujudkan Kota Kendari.

Masyarakat Kota Kendari perlu mendapatkan edukasi mengenai gentingnya masalah sampah. Masyarakat perlu mendapatkan pengetahuan dan pelatihan tentang pemilahan dan pengelolaan sampah. Dan pemerintah perlu mengembangkan program-program yang menggiring masyarakat menuju Zero Waste. Karena memang sejatinya, kita membutuhkan program yang lebih jelas, bermakna, sistematis, dan ilmiah selain pengenaan harga Rp 200,00 pada kantong plastik belanja di outlet dan minimarket tertentu. Payung hukum juga harus ditata dengan baik dalam mengatur permasalahan ini. Namun hendaknya, pemerintah tidak hanya bersifat menghakimi kebiasaan buang sampah warga, namun mampu membimbing dan mendampingi warga Kota Kendari dalam berbenah.

Teknologi pengelolaan sampah yang lain tentu masih dibutuhkan mengingat ada jenis-jenis sampah yang sulit dihindari, memiliki bahaya kimia dan biologis, serta tidak mungkin didaur ulang, misalnya sampah medis. Keberadaan incinerator penting adanya dalam menangani kondisi tersebut. Namun bukan berarti incinerator dapat menjadi garda terdepan dalam mewujudkan Kendari bebas sampah. Teknologi Daur Ulanglah jawabannya.

Zero Waste bukan suatu tren viral yang dapat dilakukan hanya sekedar “ikut-ikutan” atau “sok keren”. Ini adalah komitmen yang membutuhkan kerja sama seluruh pihak terkait, baik dari pemerintah maupun masyarakat. Tanpa partisipasi keduanya, maka Kendari akan terus menghadapi permasalahan sampah yang kian hari kian menggunung. Jangan sampai, ketika tempat-tempat lain pada 2040 berhasil mewujudkan gagasan Zero Waste dan menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat, kita masyarakat Kota Kendari malah sedang berjuang selamat dari bahaya tenggelam oleh timbunan sampah. Mari bersama-sama menyelamatkan Kota Kendari tercinta.

Publisher : FITRI F. NINGRUM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *