Perang Terhadap Nyamuk Aedes Aegypti Pembawa Penyakit Demam Berdarah

Oleh : Ikaningtyas Kartika Dewi
Mahasiswa Program Pasca Sarjana S2 Kesehatan Masyarakat, Universitas Mandala Waluya Kendari

Oyisultra.com, KENDARI – Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit berbasis lingkungan yang tidak lagi asing di telinga warga Kota Kendari. Menjelang dan sepanjang musim penghujan, kampanye kengerian DBD selalu didengungkan dan diulang-ulang di berbagai media lokal maupun nasional.

Bagaimana tidak, sepanjang tahun 2023 saja (1 Januari hingga 31 Mei), kasusnya melonjak hingga 151 penderita, dimana 3 diantaranya meninggal dunia. Situasi diperparah dengan perubahan iklim, dimana dewasa ini musim penghujan datang tidak menentu dan cenderung lebih panjang dibanding biasanya. Sehingga siklus DBD yang dulunya hanya meningkat pada siklus musim penghujan Oktober-April, menjadi lonjakan kasus yang berlangsung nyaris sepanjang tahun.

Bila dihitung secara kasar, angka kematian DBD pada tahun 2023 untuk Kota Kendari mencapai 1,987%. Angka ini adalah 2,5 kali lipat lebih tinggi dari CFR nasional yang berada pada 0,8%. Hal tersebut berarti bahwa masalah DBD di Kota Kendari adalah masalah yang serius dan tidak dapat dipandang sebelah mata. Bila selama masa Pandemi Covid-19 yang lalu masalah kesehatan terpusat dalam penanganan Pandemi, maka sudah saatnya Kota Kendari kembali membereskan masalah-masalah kesehatan yang belum tuntas ditangani.

Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit ini. Bersama dengan Aedes albopictus, keduanya menjadi sumber penularan yang menyebar dengan cepat dan membahayakan nyawa masyarakat kita, khususnya anak-anak yang telah kembali kembali bersekolah dengan metode tatap muka. Maka penanggulangan DBD selalu berfokus terhadap Aedes sp. Cara tersebut dapat ditempuh dengan memutus mata rantai perkembangbiakan nyamuk Aedes sp, membunuh nyamuk Aedes sp, dan mencegah gigitan nyamuk Aedes sp terhadap manusia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) sendiri telah mengeluarkan Pedoman Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) 3M Plus, yang terdiri dari Menguras, Menutup/Mengubur, dan Mendaur ulang barang bekas, disertai usaha-usaha seperti penggunaan larvasida (abate), penggunaan obat dan lotion anti nyamuk, memasang kassa nyamuk, tidak menggantung/menyimpan pakaian di tempat terbuka dalam waktu lama, gotong royong membersihkan lingkungan, dan sebagainya. Cara ini dianggap ujung tombak yang dapat menekan populasi Aedes sp.

Salah satu metode yang mulai digandrungi adalah penggunakan Ovitrap. Metode ini populer di kalangan generasi yang lebih muda, dengan menciptakan perangkap nyamuk sederhana yang dapat menjadi media nyamuk untuk bertelur, namun dengan pemasangan sekat kassa pada pertengahan Ovitrap, membuat nyamuk dewasa tidak dapat keluar dari Ovitrap dan akhirnya mati.

Namun nyatanya PSN 3M Plus ini tidaklah cukup. Kemampuan Aedes sp. berkembang biak telah melewati kemampuan masyarakat Kota Kendari dalam melakukan PSN. Menurut penelitian di dalam dan luar negeri, Aedes sp. dapat berkembang biak pada wadah sampah, terutama sampah plastik.

Sementara itu, hasil penelitian yang dilakukan pada bulan November 2020, Kota Kendari menghasilkan 260 ton sampah per hari, yang meningkat 3-5% setiap bulannya. Sedangkan data yang dirilis oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun yang sama, sampah yang dapat diangkut hanya mencapai 57-77% saja. Sisa sampah yang tidak dapat terangkut tersebut memenuhi ruang dan perariran Kota Kendari.

Tentu saja, wadah sampah yang dapat menampung air pada musim penghujan, menjadi habitat bagi perkembangbiakan Aedes sp. yang subur. Tidak heran bila populasi Aedes sp. tetap meningkat walaupun upaya PSN 3M Plus digencarkan pemerintah.

Maka fogging menjadi senjata yang dapat diaplikasikan pada tahap berikutnya. Fogging dapat dilakukan dengan syarat terdapat 3 penderita DBD dalam radius 100 m. Hanya bila syarat ini terpenuhi maka fogging dapat dilakukan. Bila kurang dari 3, maka kecil kemungkinan penderita digigit nyamuk Aedes sp.pada lokasi tersebut.

Namun sayangnya, metode fogging ini juga terganjal masalah-masalah lainnya. Fogging kerap mendapat penolakan akibat dampak post fogging yang meninggalkan residu beracun yang membahayakan kesehatan warga, terutama anak-anak. Masalah lain yang lebih krusial muncul dalam bentuk resistensi insektisida.

Penelitian yang dilakukan 10 tahun terakhir di Indonesia, menyebutkan bahwa ada 15 jenis insektisida yang mengalami resistensi. Jenis teratas dari daftar ini diduduki oleh Malathion dengan resistensi sebesar 20,69%, disusul Temefos dan Permetrin, masing-masing sebesar 18,97%. Padahal, Malathion adalah insektisida yang paling sering digunakan dalam program fogging di Kota Kendari.

Hal ini tentu memicu masalah baru, dimana dosis Malathion terpaksa dinaikkan untuk mendongkrak efektivitasnya dalam membunuh nyamuk Aedes sp. Sayangnya, hal tersebut membawa dampak kesehatan yang besar bagi masyarakat itu sendiri. Ini menjadi bumerang bagi kita, ketika insektisida tersebut telah resisten bagi target nyamuk, namun tidak resisten terhadap kita, manusia itu sendiri. Efek sampingnya bukan hanya diderita dalam jangka pendek (mata merah, ruam kulit, mual, muntah, pusing) namun juga jangka panjang (gagal ginjal dan kanker). Maka mutlak diperlukan usaha lain dalam mengendalikan populasi nyamuk Aedes sp.

Penelitian yang dilakukan Riyani Setyaningsih dkk pada tahun 2014 menghadirkan Teknik Serangga Mandul untuk menekan populasi Aedes aegypti. Metode ini sebenarnya merupakan pengembangan teknik yang dilakukan oleh bidang pertanian dalam upaya menekan populasi hama. Teknik Serangga Mandul yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan teknologi rekayasa genetik dengan Sinar Gamma.

Prinsip dasar dari metode ini adalah, bahwa nyamuk betina hanya kawin sekali saja seumur hidupnya, sementara nyamuk jantan dapat kawin lebih dari sekali. Jika kita dapat membuat nyamuk betina kawin dengan nyamuk jantan yang mandul, maka nyamuk betina tersebut hanya akan menghasilkan telur yang tidak viable, atau tidak dapat menetas. Nah, penelitian ini berfokus bagaimana menghasilkan nyamuk jantan yang mandul, yang memiliki daya tarik kuat bagi nyamuk betina liar yang subur, sehingga perkawinannya tidak akan menghasilkan keturunan. Dengan demikian maka populasi nyamuk Aedes aegypti akan menurun.

Penelitian Riyani Setyaningsih dkk menggunakan metode radiasi Sinar Gamma dalam “menciptakan” nyamuk jantan yang mandul. Nyamuk jantan ini telah dibibitkan dan dipilih sehingga secara kualitas, merupakan jenis nyamuk yang baik dan menarik dalam dunia nyamuk. Ukurannya pun lebih besar dan prima dibanding nyamuk jantan liar. Sinar gamma yang sudah diujikan adalah sinar gamma 30y, 40y. 50y, 60 y, 70y. Sinar gamma 70y dalam laboratorium berhasil menciptakan 100% nyamuk Aedes aegypti jantan yang mandul sehingga sinar gamma jenis 70y inilah yang kemudian digunakan seterusnya dalam Teknik Serangga Mandul ini.

Pelepasan nyamuk jantan ke lingkungan dilakukan berulang kali. Dalam penelitian, dihitung jumlah ideal pelepasan nyamuk jantan adalah lima kali dengan jarak antara pelepasan adalah satu minggu. Sehingga proses pelepasan ini berlangsung selama lima minggu. Jumlah nyamuk yang dilepaskan adalah 45 ekor per rumah dan minimal dilakukan untuk 100 rumah, sehingga total nyamuk Aedes aegypti jantan yang dilepaskan adalah 4500 ekor per kali pelepasan.

Efektivitas teknik ini setelah 5 kali pelepasan adalah dapat menghasilkan telur steril Aedes aegypti hingga 96,09% di dalam rumah dan 93,25% di luar rumah. Kondisi ini dapat menurunkan jumlah populasi nyamuk Aedes aegypti hingga tersisa 15,89-15,95% dari jumlah populasi semula, yang artinya hanya tersisa kurang dari seperenam jumlah semula.

Teknik ini sudah dilakukan di berbagai negara seperti Sri Lanka, Brazil, Perancis, Florida, Bangladesh, Libya, Mexico, Thailand, Indonesia, dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, teknik ini sudah dilakukan di Kota Salatiga.
Kekurangan teknik ini adalah, metodenya yang sulit. Di Indonesia hanya dapat dilakukan di Laboratorium BATAN Jakarta sehingga menyulitkan mobilisasi atau pengangkutan nyamuk-nyamuk ini ke provinsi lain, utamanya ke pulau lain. Biaya metode ini juga tidak murah, karena membutuhkan perlakuan preparasi untuk menghasilkan nyamuk jantan mandul dan juga pelepasannya yang berulang kali (efektif bila 3-5 kali atau lebih). Namun teknik ini perlu dipertimbangkan karena resistensi dan bahaya insektida pada teknik fogging sudah dianggap tidak lagi efektif dalam memberantas nyamuk dewasa.

Kesulitan itu dijawab oleh penelitian yang dilakukan oleh Novyan Lusiana dengan prinsip serupa melalui metode berbeda. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2014 tersebut juga memandulkan nyamuk jantan Aedes aegypti. Berbeda dengan penelitian Riyani Setyaningsih dkk yang menggunakan Sinar Gamma, Novyan Lusiyana memandulkan nyamuk jantan dengan menginfeksi telur nyamuk Aedes aegypti dengan bakteri Wolbachia. Telur itu kemudian menetas menjadi nyamuk jantan dan nyamuk betina yang mengandung Wolbachia.

Kemudian nyamuk-nyamuk tersebut dipisahkan. Hanya nyamuk jantan saja yang akan digunakan untuk tahap selanjutnya. Nyamuk betina tidak akan dilepaskan dalam percobaan. Namun dapat dimusnahkan atau digunakan dalam penelitian berikutnya.

Nyamuk jantan yang kemudian dilepaskan ke lingkungan, akan mencari pasangan dan kawin dengan nyamuk betina liar, yang bukan berasal dari hasil penelitian. Hasil dari perkawinan itu adalah telur yang steril atau tidak dapat menetas. Karena nyamuk jantan yang mengandung Wolbachia dapat kawin dengan beberapa nyamuk betina, maka seluruh pasangan betinanya akan menghasilkan telur yang steril. Dengan demikian, terputuslah siklus perkembangbiakan nyamuk tersebut.

Salah satu kelebihan teknik Wolbachia ini adalah bahwa bakteri Wolbachia juga bersifat mengurangi dan menghentikan replikasi virus Dengue, Chikunguya, Zika, dan lain-lain dalam tubuh nyamuk, sehingga menekan tingkat infeksi dan penularannya pada manusia. Sehingga teknik ini tidak hanya mengebiri daur hidup nyamuk, tapi juga menekan tingkat infeksi yang mungkin ditularkan oleh nyamuk tersebut. Studi juga menunjukkan bahwa teknik ini dapat memperpendek usia nyamuk.

Kelebihan teknik ini adalah caranya yang alami dengan pendekatan biologis, yaitu bakteri Wolbachia, memiliki risiko yang minimal bagi lingkungan dan ekosistem, dibanding cara kimia atau fisika. Efektivitas pelepasan nyamuk terinfeksi Wolbachia dalam penelitian adalah dapat menekan angka kejadian DBD sebesar 77,1%.

Studi tentang Wolbachia untuk menekan populasi Aedes aegypti sebagai vektor utama DBD telah dilakukan di sejumlah negara seperti Pakistan, India, Mexico, Florida, Malaysia, Filipina, Arab, Indonesia, dan lain-lain. Di Indonesia, teknik ini sudah dan sedang dijalankan di Sleman, Bantul, Yogyakarta, dan Semarang.

Kekurangan teknik ini adalah dibutuhkan preparasi untuk menginfeksi pupa nyamuk jantan dengan bakteri Wolbachia dalam laboratorium dan memeliharanya sampai usia nyamuk dewasa. Kemudian nyamuk tersebut ditransportasikan ke lingkungan area pelepasan. Mobilitas nyamuk ini menjadi kendala. Namun teknik infeksi Wolbachia ini tidak serumit teknik radiasi sinar gamma yang memerlukan peralatan lebih canggih, sehingga lebih memungkinkan dilakukan di banyak laboratorium lain.

Sama dengan Teknik Serangga Mandul, Teknik Wolbachia ini juga membutuhkan pelepasan nyamuk Aedes aegypti jantan sebelum musim puncak DBD tiba. Dan untuk mencapai populasi nyamuk rendah, teknik ini harus dilakukan secara rutin terus-menerus.

World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta mengusung Teknik Wolbachia ini sebagai program unggulan yang sudah diaplikasikan di Yogyakarta, Sleman, dan Bantul. WMP Yogyakarta bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Sleman dan Bantul melalui Dinas Kesehatan. Teknologi Wolbachia menjadi program intervensi kesehatan di 2 kabupaten tersebut, sebagai program pelengkap pengendalian DBD sejak tahun 2010.

Keberhasilan Teknik Wolbachia ini sepatutnya menjadi cerminan bagi Dinas Kesehatan Provinsi dan Kota lainnya untuk mengikuti jejak Yogyakarta, Sleman, dan Bantul. Sudah seharusnya Kota Kendari juga memiliki program pengendalian nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama penyakit DBD yang baru, terkini, ilmiah, dan lebih aman untuk masyarakat serta lingkungan, seperti pada Teknik Wolbachia.

Penelitian mengenai metode alternatif ini telah dilakukan sejak tahun 2014, nyaris 20 tahun lalu. Yogyakarta, Sleman, dan Bantul sudah mengadopsi metode ini secara terintegrasi dalam program intervensi DBD sejak 13 tahun yang lalu. Mengapa Kota Kendari harus menunggu lebih lama lagi?
Sebagai penyakit yang berbasis masalah lingkungan, Pemerintah tidak dapat menyelesaikan masalah DBD tanpa urun tangan kerja sama seluruh lapisan masyarakat. Namun sudah saatnya para pemangku kebijakan dan instansi yang terkait menghadirkan program baru yang lebih menjanjikan.

Teknik pemandulan nyamuk Aedes aegypti tentu saja tidak dapat diterapkan sebagai metode tunggal pengendalian vektor DBD. Teknik 3M Plus yang sudah terbukti efektif, murah, dan efisien dapat terus dilakukan dan ditingkatkan. Tidak ada salahnya mempertahankan cara lama yang baik sambil mengaplikasikan cara baru yang ilmiah. Bukankah itu hakikatnya kita mengejar ilmu? Untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat?

Mungkin sekilas berita di media lokal tentang 151 kasus DBD sepanjang tahun 2023 yang merengut tiga nyawa terdengar biasa saja. Namun tentunya itu akan berbeda bila suatu saat DBD mengetuk pintu rumah kita dan menyerang keluarga tersayang. Padahal penyakit ini dapat dicegah dengan mengendalikan Aedes aegypti sebagai vektor utama DBD. Bersama kita bisa.

Publisher : FITRI F. NINGRUM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *