Gerabah Khas Baubau Tetap Lestari Melintasi Zaman

Oyisultra.com, BAUBAU – Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) memiliki beragam kekayaan budaya yang tetap lestari melintasi zaman. Salah satunya adalah kerajinan gerabah. Sentra pembuatan gerabah di Kota Baubau terletak di Kelurahan Lipu, Kecamatan Betoambari.

Meski pembuat gerabah terus mengalami penurunan seiiring berkembangnya zaman dan menurunnya antusia penerus berkurang, namun perajin di daerah tersebut masih tetap eksis memproduksi gerabah-gerabah andalan yang diperjual belikan di pasar.

Seperti yang dilakukan Wa Aji (70) perajin gerabah itu menguasai keterampilan membuat kerajinan gerabah dari orang tuanya. Ia sejak kecil sudah belajar membuat gerabah.

Wa Aji pun punya niatan yang sama untuk menurunkan keterampilannya itu kepada anak-anaknya, akan tetapi tidak ada satu pun keturunannya untuk menekuni apa yang ditekuninya dari kecil tersebut.

“Pembuat (gerabah) ini sudah tidak begitu banyak lagi. Kalau saya dari kecil sudah belajar membuat ini dari orang tua, tapi anak-anak saya tidak mau belajar,” tuturnya.

Perajin gerabah

Wa Aji yang mengaku memiliki 4 orang anak ini, berkeinginan juga agar anak-anaknya belajar menekuni sebagai pembuat gerabah, karena selain sebagai pendapatan juga merupakan kerajinan turun temurun.

Saat ini, menurutnya, perajin gerabah di wilayahnya tersisa sekitar 8 kepala keluarga, padahal dulunya terbilang cukup banyak. Kondisi itu seiring perhatian pemerintah melalui instansi terkait dalam hal mendorong atau merangsang generasi muda untuk menggelutinya tidak secara masif.

Olehnya itu, diharapkan kepada pemerintah lebih mendorong lagi generasi penerus agar kerajinan yang menjadi turun temurun tersebut tetap terpelihara dan dapat diminati sehingga tidak hilang oleh zaman.

Mengenai peralatan yang digunakan membuat gerabah, kata dia, selain tanah liat sebagai bahan baku, juga beberapa bilah bambu dan kayu ukuran sekitar 50 cm, pasir halus, sebongka batu, selembar bulu ayam, tanah merah, dan batu putih sebagai pewarna.

Khusus bambu dan kayu yang telah dibuat itu selain digunakan untuk penghalus gerabah, juga dimanfaatkan sebagai pemukul guna meratakan sisi bagian luar gerabah dengan seiring menggunakan sebongka batu sebagai penahan pada sisi bagian dalam gerabah agar saat pembuatan tidak pecah atau retak.

“Kalau tanahnya ini kita ambil di Karya Baru (Kecamatan Sorawolio) kita muat dimobil sekitar 10 karung ongkosnya Rp50 ribu,” ucapnya.

Gerabah-gerabah yang sudah diperjualbelikan di pasar-pasar

Wanita paruh baya ini mengaku, dalam sehari dapat membuat beberapa buah gerabah berbagai model diantaranya kabubu (penutup kue), balanga (panci), bosu, dan wadah pembakar dupa.

Gerabah yang telah dibuat tersebut, kata dia, dijual ke pasar Wameo khususnya pembeli yang sudah memesan atau papalele dengan harga berfariasi, yakni kabubu Rp20 ribu, dan balanga serta bosu masing-masing dijual sebesar Rp10 ribu per unit.

Adapun kendala yang dihadapi dalam proses pembuatan gerabah itu, ketika hujan mengguyur apalagi berhari-hari, karena menyebabkan proses pembakaran yang biasanya sekitar satu jam menjadi terlambat akibat kayu basah sehingga sulit menyala.

Penulis : ASEP
Publisher : FITRI F. NINGRUM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *