Politik Uang Pemilu di Era Disrupsi

Oleh : La Ode Muhram Naadu, S.H., MH

Oyisultra.com, KENDARI – Era disrupsi membawa banyak perubahan dalam aktivitas manusia. Terkini, digitalisasi keuangan sudah dapat dengan mudahnya terkendalikan oleh ponsel pintar dalam genggaman. Uang dan cara bertransaksi bergeser ke ranah digital tanpa perlu repot membawa uang cash.

Begitulah teknologi. Semua jadi mudah. Namun notabene teknologi bisa saja menjadi pisau bermata dua. Karena ia bebas nilai. Tak peduli nilai baik dan buruk. Bagi orang jahat, teknologi justru mempermudah praktik kejahatan. Seperti halnya uang digital dan cara pembayaran digital adalah alat yang sangat membantu dalam proses politik uang dalam Pemilu 2024, sebagaimana akan dibahas dalam tulisan ini.

Faktual, Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu RI) sudah mengidentifikasi titik rawan politik uang pada kontestasi elektoral di tahun 2024. Politik uang dengan platform digital salah satunya. Modus politik uang akan berlimpah-ruah caranya. Bawaslu sebagai pengawas pemilu tidak memiliki wewenang secara jelas di ranah ini.

Di sisi lain secara materil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu belum memberikan payung hukum yang expressive verbis bagi perbuatan yang sepatutnya terkategorisasi sebagai pidana pemilu ini. Masih konvensional dengan penekanan memberikan uang atau materi lainnya. Diperlukan politik hukum yang memang serius, untuk menangkal bahaya massif dan canggihnya modus politik uang di era disrupsi ini.

Dari identifikasi Bawaslu RI setidaknya ada dua hal yang menjadi titik masalah isu politik uang dalam indeks kerawanan Pemilu 2024, yang pertama soal kewenangan Bawaslu dan kedua soal hukum dasar (umbrella act), yakni Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Payung Hukum

Beberapa catatan dari materil politik uang pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017, yakni pertama, belum ada pasal yang menyebutkan politik uang bisa saja terjadi dengan platform digital atau jenis perbuatan yang dikualifisir sebagai politik uang dalam undang-undang aquo masih dikategorikan sebagai politik uang konvensional.

Paling jauh bentuk norma yang dekat dengan jenis perbuatan ini hanyalah mengatur tentang ‘menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya’. Apakah dilakukan dengan sarana teknologi belum terkualifisir pada normanya. Seperti halnya jika kita komparasi dengan delik penghinaan di KUHP, akan berbeda rumusan normanya ketika penghinaan itu dilakukan pada media elektronik, sehingga diadakanlah undang-undang informasi dan transaksi elektronik. Ini sebuah gambaran bahwasanya dalam basis perundang-undangan sebuah rumusan norma harus jelas, spesifik dan tidak multitafsir.

Kedua, frasa materi lainnya bisa saja mengkualifikasi jenis uang digital sebagai obyek, namun penafsiran ekstensif yang dilakukan tidak boleh sembrono begitu saja. Jenis uang digital bermacam rupa. Bisa dikonversi terpecah-pecah dan berbagai jenis. Digunakan untuk bukan hanya transaksi keuangan, bisa jadi chip, voucher. Penjelasan materi lainnya belum menjangkau hal tersebut secara tegas.

Metode penafsiran ekstensif selalu dimulai dengan tahap memahami undang-undang yang ada, kemudian dengan tetap memegang maksud dari pembentuk undang-undang dilakukan perluasan makna pada aturan hukum yang ada. Maksud dari pembentuk undang-undang saat itu bukanlah jenis politik uang digital. Dalam pidana bahkan tidak sedikit pakar hukum yang mengharamkan penafsiran ekstensif. Sifat pidana yang keras mewajibkan rumusan normanya harus jelas.

Olehnya itu tidak boleh dipersamakan begitu saja. Mengutip ajaran Logemann, menegaskan perbedaan ini dengan menekankan syarat penafsiran ekstensif yang tidak boleh memperkosa maksud dan jiwa dari undang-undang, mereka tidak boleh sewenang-wenang tetapi mencari maksud pembentuk undang-undang (kennelijk bedoeling).

Ketiga, tugas tafsir-menafsir merupakan domain hakim belaka. Bukan pengawas pemilu, polisi atau jaksa yang tergabung dalam penegakan hukum terpadu (Gakkumdu). Penafsiran hukum hanyalah digunakan manakala terjadi kekosongan atau luwesnya sebuah norma.

Ini hanya menjadi tugas teoritisi hukum. Permasalahan di lapangan akan terjadi soal kewenangan ini, kemudian bagaimana mencocokan perbuatan apakah memenuhi unsur atau tidak. Lebih lanjut dengan pengumpulan bukti. Transaksi keuangan digital membutuhkan waktu untuk dibuktikan. Bisa terbentur pula dengan kerahasiaan data perbankan. Diperhadapkan dengan speedy trial proses gakkumdu, nampaknya ini akan menjadi celah lolos dari pelaku.

Kewenangan

Dalam payung hukum Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017, belum ada regulasi yang mengatur kewenangan Bawaslu dalam pengawasan politik uang secara digital. Apalagi sebagai turunannya, regulasi teknis yang menyangkut pengawasan pemilu di platform digital. Sebagai pintu masuk pengawasan, Perbawaslu Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pengawasan Penyelenggaraan Pemilihan Umum belum menyentuh hal ini. Paling jauh persentuhan teknologi dengan giat pengawasan adalah pengawas pemilu melakukan pendekatan pada publikasi media. Itu bisa dilihat dari Pasal 1 angka 21 Perbawaslu aquo.

Pertanyaannya jelas, apakah ini menunjukan bahwa tidak ada atribusi bagi pengawas pemilu melakukan pengawasan transaksi digital? Tentu saja bisa disimpulkan demikian.

Pengawasan politik uang masih konvensional dan preventif seperti syarat Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) dalam pengawasan dana kampanye. Memang ada juga kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analsisi Transaksi Keuangan (PPATK). Namun sekali lagi, sulit mengidentifkasi pergerakan dana kampanye di luar itu dan selanjutnya.

Uang bisa saja menjadi uang elektronik berbasis chip (chip based) dengan verifikasi transaksi lebih cepat, karena bersifat off-line atau uang elektronik berbasis server (server based). E-Money berbasis server memiliki nilai uang disimpan di dalam server penerbit. Sulit bagi pengawas pemilu mengidentifikasi ini, terlebih dilakukan dengan terstruktur, masif dan syarat teknologi.

Bagaimana pengawas pemilu dapat menangkal serangan fajar dengan inovasi pada instrumen pembayaran elektronis?. Terkini instrumen pembayaran bahkan bukan lagi menggunakan kartu kredit dan kartu ATM/Debit, tinggal scan kode QR uang digital mengalir dalam sekejap mata. Jika dipola secara terstruktur betapa masifnya politik uang kedepannya. Tidak tersentuh hukum, merusak bahkan sporadis melabrak prinsip keadilan pemilu.

Momentum

Momentum pengusulan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Pemilu belum memasukan urgensi menangkal politik uang di era disrupsi. Isu yang dibangun bahkan jauh dari indeks kerawanan pemilu 2024. Perppu hanya mengurus remeh-temeh politik kekuasaan, yakni seputar penambahan jumlah anggota DPR, penambahan daerah pemilihan, penyeragaman masa jabatan penyelenggara dan penetapan daftar calon tetap. Ini menunjukan justru Perppu tersebut kehilangan urgensinya.

Padahal Perppu dibentuk dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Indeks kerawanan Pemilu adalah materil urgensi itu yang sebenarnya secara prediktif sudah melihat tantangan kedepan.
Momentum Perppu seyogyanya memasukan perbaikan frasa pada materil pengaturan politik uang di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Mumpung teridentifikasi sebagai titik kerawanan pemilu, sehingga bisa diantisipasi sebelumnya. Hukum harus bersifat futuristik. Memprediksi keadaan yang akan terjadi. Perbaikan regulasi jangan setengah-setengah. Dan juga jangan terburu-buru.

Begitulah kenyataannya. Het recht hinkt achter de faiten aan ; hukum senantiasa tertatih-tatih mengejar perubahan zaman. Bahwa pada hakikatnya hukum seharusnya mengikuti perkembangan zaman yang ada dan bukan justru sebaliknya. Era disrupsi memberikan tantangan pada kita semua, bagaimana melihat perubahan yang cepat namum tetap terjaga oleh keteraturan pranata sosial.

Jangan biarkan teknologi menjadi perusak, notabene hukum hadir untuk membawanya tetap pada arahnya yakni memudahkan aktivitas manusia. Pembaruan regulasi hendaknya membaca perkembangan teknologi secara sigap. Era disrupsi dipenuhi dengan tantangan yang sebenarnya bisa diprediksi. Namun prediksi saja tidak cukup tanpa menghadirkan solusi.

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Sulawesi Tenggara/Praktisi Hukum

Publisher : FITRI F. NINGRUM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *