Kesadaran Hukum Masyarakat Dalam Pelaksanaan Pemilu 2024

Opini Oleh : Muhammad Saddam Safa, S.H. Penulis Merupakan Advokat/Pengacara

Oyisultra.com – Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Adapun masyarakat yang dapat menyalurkan hak pilihnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang menyebutkan, Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih.

Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud didaftar 1 (satu) kali oleh Penyelenggara Pemilu dalam daftar Pemilih. Adapun Warga Negara Indonesia yang telah dicabut hak politiknya oleh pengadilan tidak mempunyai hak memilih.

Dalam hal ini, penulis akan menjelaskan tentang pentingnya kesadaran hukum masyarakat dalam pelaksanaan pemilu serentak 2024, mengingat maraknya praktik Money Politic dalam setiap kontes pesta demokrasi, oleh karena itu diperlukan kesadaran dalam melihat dampak dan konsekuensi yang terjadi akibat penerapan praktik politik uang dalam pelaksaan pemilu.

Bertalian dengan maraknya fenomena tindak pidana politik uang dalam Pemilu atau juga Pilkada maka beberapa teori pencegahan tindak pidana diatas tentu dapat dijadikan rujukan.

Sehubungan dengan itu, paling tidak terdapat 5 poin penting yang dapat penulis kemukakan guna mencegah terulangnya tindak pidana politik uang ini.

Pertama, diperlukan regulasi Pemilu yang jelas (lex certa) dan tegas (lex stricta) dalam mengatur rumusan tindak pidana politik uang termasuk sanksi pidananya yang juga harus maksimal.

Tidak bisa lagi menggunakan model pengaturan yang konvensional seperti dalam UU Pemilu sekarang ini yang masih menggunakan perspektif KUHP. Hal yang perlu ditegaskan adalah sanksi pidana harus mampu memberikan efek jera (deterrence effect) melalui strafmaat yang berbentuk indeterminate sentence.

Kedua, dibutuhkan aparat penegakan
hukum yang berintegritas, memiliki
kredibilitas dan komitmen dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Dalam konteks itu, Sentra Gakumdu sebagai dapur pengendali proses tindak pidana
politik uang tidak boleh terinfeksi oleh virus-virus korupsi seperti suap menyuap atau perbuatan culas lainnya.

Ketiga, berkaitan dengan poin kedua, peradilan tindak pidana politik uang haruslah dilaksanakan dengan prinsip due process of law yang bercirikan peradilan fair, objektif, cepat dan sederhana. Pada titik inilah penegakan hukum akan kelihatan berwibawa.

Keempat, penyelenggara Pemilu
terutama Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) harus ditempatkan tidak hanya sebagai mitra Komisi Pemilihan Umum (KPU) semata tetapi juga sebagai mitra masyarakat. Bawaslu tidak bisa menjadi organ eksklusif dalam melakukan pengawasan tetapi harus mampu menyatu dengan lingkungan masyarakat sekitar sehingga potensi-potensi terjadinya politik
uang dapat diprediksi dari jauh hari dan dapat dicegah sedini mungkin. Untuk itu diperlukan pula komisioner Bawaslu yang dapat menjaga integritasnya agar tak mudah dibeli oleh penjahat demokrasi.

Kelima, KPU harus bisa semaksimal
mungkin memberi edukasi politik kepada masyarakat dengan menggandeng partai politik untuk mencerdaskan masyarakat dalam hal pencegahan tindak pidana politik uang. Cara-cara pendidikan politik selama ini yang terkesan formalistis perlu diubah.

Masyarakat sebagai subjek sekaligus objek dalam Pemilu perlu dibuatkan pendekatan khusus, seperti: Pendekatan tersier. Dalam konteks itu, masyarakat dapat disehatkan pikirannya sehingga mereka mampumenyadari bahwa demokrasi yang sehat hanya akan lahir dari pikiran masyarakat yang sehat yang pada ujungnya akan melahirkan pemimpin yang sehat dari korupsi. Masyarakat harus ada rasa memiliki atas daerah atau negaranya sehingga tidak mudah dibujuk dalam perilaku transaksional dan koruptif – ini yang disebut sebagai pendekatan sekunder.

Merujuk pada ulasan tersebut di atas
baik pendekatan primer, sekunder dan tersier termasuk juga pendekatan abolisionistik dan moralistik hubungannya dengan faktor pendorong terjadinya kejahatan dan upaya penegakan hukumnya maka akan sangat bermanfaat jika digunakan dalam mencegah tindak pidana politik uang.

Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat di ketahui bahwa, pada dasarnya kesadaran hukum dalam masyarakatlah yang terpenting untuk diperhatikan agar pemilu dapat berjalan sesuai asas langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil.

Publisher : MAHIDIN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *