Mengenal Kompe yang Dipakai Saat Prosesi Adat Pernikahan Suku Moronene Bombana

Oyisultra.com, BOMBANA – Kompe adalah semacam keranjang yang terbuat dari anyaman daun pohon Agel. Agel adalah sejenis tumbuhan palem-paleman dengan nama ilmiah “Corypha utan”.

Agel tumbuh dengan baik di daerah savana di antara alang-alang atau di hutan dekat savana seperti yang terlihat di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW) Bombana- Konawe Selatan (Konsel) Sulawesi Tenggara (Sultra). Suku Moronene membuat kompe sebagai wadah untuk membawa atau menyimpan barang.

Suku Moronene merupakan salah satu suku yang ada di Sulawesi Tenggara dan berada di wilayah Kabupaten Bombana. Suku Moronene memiliki warisan kebudayaan yang unik dan beragam. Salah satunya adalah tradisi adat perkawinan yang dalam bahasa Moronene disebut Kawi’a.

Kompe hanya sesekali muncul seperti dalam prosesi adat pernikahan suku Moronene yg dikenal dengan “merongo kompe”.

Dalam prosesi adat ini, kompe dipakai untuk membawa barang-barang persembahan dari calon mempelai pria.

Sejumlah kerajinan tangan suku Moronene

Selain kompe, masyarakat Moronene juga mempunyai produk kerajinan tangan lain yang juga dibuat dari anyaman daun agel, seperti Sorau ialah wadah kecil untuk menyimpan siri, tembakau, benang, garam. Kemudian, ada Balase yakni wadah sedang untuk menyimpan beras atau jagung. Selain itu, ada pula Be’u adalah wadah berupa bakul.

Kerajinan tangan tradisional ini merupakan unsur budaya yang memiliki nilai dan fungsi tersendiri baik dalam kehidupan masyarakat dan konteks keragaman budaya. Nilai dan fungsinya tidak hanya menampilkan keindahan, tetapi juga alat pemersatu masyarakat seperti pada penyelenggaraan adat.

Kerajinan tradisional itu juga memiliki nilai seni, karena anyaman dibuat dari tumbuhan yang dibentuk sesuai keinginan penganyam.

Perbedaan dari berbagai kerajinan tangan anyaman ini hanya pada bagian daun Agel yang digunakan. Kompe menggunakan daun Agel yang masih ada tulang (lidi), sementara yang lain menggunakan daun Agel yang sudah dibuang lidinya. Untuk itu Kompe lebih kokoh (durable) bisa untuk membawa barang.

Sementara yang lainnya hanya sebagai penyimpanan. Kadang daun kelapa juga dipakai untuk membuat Kompe yang sederhana.

Kasra Jaru Munara dalam Moronene Heritages and legacies menuliskan, Kompe dan produk kerajinan tangan lainnya tidak semestinya menjadi langka atau menghilang dari peredaran.

Semestinya bisa menjadi ikon produk kerajinan tangan tradisional Moronene apabila dikembangkan dengan sentuhan inovasi. Potensi dan peluang ada. Saat ini banyak ajakan untuk tidak menggunakan kantong berbahan plastik.

Anyaman suku Moronene

Bahkan sudah banyak negara yang mengeluarkan larangan penggunaan kantong plastik. Per 1 Juli 2020, DKI Jakarta telah melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai di mal, toko swalayan, dan pasar tradisional serta mewajibkan penggunaan kantong, tas atau keranjang belanja yang ramah lingkungan. Atau konsumen harus membawa kantong atau keranjang sendiri.

Peluang lainnya adalah saat lebaran, natal dan tahun baru. Kompe dan produk yang lainnya bisa menjadi alternatif untuk wadah parcel atau hamper.

Saat acara pesta pernikahan, sorau ukuran mini bisa menjadi pilihan cendera mata unik untuk tamu undangan. Belum lagi kalau dikembangkan ke arah fashion berupa tas unik bernuansa etnis dan “back to nature” seperti yang sudah dilakukan oleh beberapa daerah. Produk mereka menembus pasar hingga ke Amerika Serikat.

Salah seorang Tokoh Adat dan Budaya Kabaena, Abdul Madjid Ege mengatakan, bahwa perajin anyaman tradisional saat ini diperkirakan hanya berjumlah 10 orang, dan rata – rata usianya adalah 60 tahun.

“Semua wadah dalam kegiatan adat harus terbuat dari anyaman tradisional seperti Kompe, Be’u, dan Balase. Akibat pergeseran zaman, generasi muda tidak tertarik untuk mempelajari cara membuat anyaman tradisional,” ungkapnya. (Adv/OS)

Penulis : ASEP
Publisher : FITRI F. NINGRUM

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *