AJI Kendari Gelar Diskusi Revisi UU ITE dan Penghapusan Pasal Bermasalah Pada RKUHP

Oyisultra.com, KENDARI – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari menggelar diskusi dan kampanye dengan topik “Mendesak Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Penghapusan Pasal Bermasalah RUU KUHP (Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)”. Kegiatan itu digelar secara virtual pada Sabtu (20/8/2022).

Turut hadir sebagai pemateri adalah Gema Gita Persada, Pengacara Publik LBH Pers Jakara dan Ramadan Tabiu selaku Dosen Hukum Pidana Universitas Halu Oleo Kendari.

Sebanyak 20 jurnalis dan 10 mahasiswa menjadi peserta dalam kegiatan yang didukung oleh AJI Indonesia tersebut.

Sebagai pemateri, Ramadan Tabiu menjelaskan KUHP yang ada saat ini merupakan warisan era Hindia Belanda yang belum berubah sampai saat ini, sementara perlu ada pembaruan KUHP secara total/menyeluruh.

Ada tiga alasan utama pembaruan KUHP ini. Pertama, alasan politis, bahwa sebagai negara yang merdeka, wajar bahwa negara Republik Indonesia memiliki KUHP yang bersifat nasional.

Kedua, alasan praktis, bahwa pada kenyataannya sedikitnya sarjana hukum Indonesia yang mampu memahami bahasa Belanda serta asas-asas hukumnya.

Ketiga, alasan sosiologis, bahwa di mana KUHP berisi pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa. Selain itu, KUHP belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Ramadan juga menyebut masalah KUHP yang berlaku saat ini banyak kelemahannya secara substansial, di antaranya: ide dasar, norma/sistemnya, pola jenis/lama/pelaksanaan pidana.  KUHP warisan Hindia Belanda juga ini bertolak dari paham individualisme, paham liberalisme dan bersifat kaku.

Selain itu, Banyak asas dan rambu-rambu sistem informasi hukum (Siskumnas) tidak terintegrasi dalam KUHP.

“Ini perjalanan panjang bangsa kita. Masa kita lebih senang dengan KUHP yang dibuat penjajah ketimbang kita buat sendiri, yang dari segi filosofis, asas maupun pengertian-pengertian dalam hukum itu sangat-sangat kolonial. Mulai dari segi pemidanaan yang sangat kaku,” ujar Ramadan dalam diskusi tersebut.

Pembaruan KUHP telah melalui perjalanan yang sangat panjang. Periode 1958 – 1993: Periode konsep lembaga pembinaan hukum nasional-badan pembinaan hukum nasional (LPHN/BPHN), yaitu periode pengkajian dan penyusunan. Lalu pada 1994-2010: Periode Konsep Direktorat KUMDANG & Dirjen PP, yaitu periode Penyusunan RUU KUHP. Sementara 2013-2019: periode pembahasan di DPR.

Terkini mulai 6 Juli 2022: Pemerintah telah menyerahkan draft RKUHP ke DPR untuk membahas pasal-pasal yang dipersoalkan.

Bagi Ramadan, saat ini jadi peluang yang baik untuk pembaruan KUHP, apalagi didukung oleh pemerintah. Apabila, pemerintahan berganti maka belum tentu akan memperhatikan pembaruan ini karena bisa jadi pemerintahan selanjutnya justru memperhatikan yang lain, misalnya hukum tentang tambang.

Terkait penghapusan pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP, Ramadan kurang sependapat dengan kata “penghapusan” ini, sebab harus punya reasoning yang kuat & jelas secara filosofi maupun ide dasar dalam pembaharuan RKUHP termasuk pasal yang dipermasalahkan.

Misalnya pada pasal tentang Penghinaan Terhadap Presiden & Wakil Presiden yang dianggap bermasalah. Menurut dia, ini tidak melarang kritik tapi yang dilarang adalah menghina.

Perbedaan mengkritik dan menghina cukup jelas. Mengkritik berarti pengungkapan pendapat untuk hal-hal yang konstruktif, sedangkan menghina adalah bentu serangan terhadap seseorang secara personal.

Ramadan menjelaskan, penghinaan dapat terbagi dua yakni memfitnah dan menista. Misalnya menyamakan sesuatu dengan binatang. Bagi dia ini tidak boleh dibiarkan dan harus diatur dalam KUHP, apalagi yang dihina adalah seorang kepala negara.

“Makanya ini harus dipahami dulu ide dasarnya. Ide dari pembaruan KUHP itu adalah keseimbangan Pancasila dan Pembangunan Nasional,” ujar Ramadan.

Sementara Pengacara Publik LBH Pers Jakara, Gema Gita Persada menjelaskan tentang regresi/penyusutan kemerdekaan pers pada Undang-Undang ITE dan RKUHP.

Menurut dia, perjalanan kemerdekaan pers di Indonesia mengalami pasang surut sejak era kolonial hingga sekarang.

Zaman Hindia Belanda mewariskan cara-cara membatasi kemerdekaan pers dengan cara pembredelan. Pada awal kemerdekaan (orde lama) hingga pada masa orde baru pembredelan terhadap media massa beberapa kali terjadi.

Kemerdekaan pers mendapatkan momentum ketika reformasi pada 1998 dengan runtuhnya orde baru. Reformasi jadi tonggak awal yang membawa angin segar bagi lahirnya kemerdekaan pers di Indonesia.

Namun kata Gita, kini kemderdekaan pers terancam dengan adanya Undang-Undang ITE dan RKUHP. LBH pers menemukan 15 klaster pasal-pasal yang mengancam kemerdekaan pers di RKUHP yang di dalamnya berpotensi menjadi alat kriminalisasi. Salah satunya terkait klausul yang sangat kental dengan kerja-kerja jurnalistik.

“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum,” jelas Gita yang mengutip isi pasal dalam draf RKUHP.

Pasal-pasal lainnya yang dianggap bermasalah, di antaranya pasal penyerangan harkat dan martabat presiden; penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara; pasal penghasutan untuk melawan penguasa umum; pasal penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.

Sebelum adanya RKUHP, selama ini senjata andalah untuk mengkriminalisasi jurnalis dan aktivis adalah dengan menggunakan UU Nomor 1 Tahun 1946 dan UU ITE.

Dalam UU RI Nomor 1 Tahun 1946 pada Pasal 14 ayat (1) yang berbunyi “Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun”.

Kemudian pada 27 ayat 3 yang berbunyi UU ITE berbunyi “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik”.

Lalu, pasal 28 ayat 2 yang berbunyi dalam UU ITE berbunyi  “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertent berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”

Berdasarkan laporan tahunan LBH Pers, dalam rentang waktu 2019-2022 setidaknya terdapat kasus kriminalisasi, pelaporan pidana terhadap kerja-kerja pers dan tidak melakukan mekanisme penyelesaian sengketa pers.

Sebanyak 3 di antaranya diputus bersalah oleh majelis hakim pada pengadilan tingkat pertama. 3 jurnalis yang divonis bersalah yakni Mohamad Sadli Saleh, Diananta Putra Sumedi, dan Muhammad Asrul.

Terkait kasus Muhammad Asrul, dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa apa yang ditulis oleh Terdakwa merupakan produk jurnalistik, namun Hakim tetap memvonis Asrul bersalah dengan hukuman penjara 3 bulan.

Hal ini, lanjut Gita, menunjukan minimnya perspektif pers serta keberpihakan yang clear dari aparat penegak hukum.

Kini, lanjut Gita, UU Nomor 1 Tahun 1946 dan UU ITE terharmonisasi dalam RKUHP yang kembali dapat digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis dan aktivis.

Pasal 27 ayat 3 UU ITE terharmonisasi dengan pasal-pasal penghinaan RKUHP; Pasal 14 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1946 dengan pasal pemberitaan bohong di RKUHP; serta Pasal 28 ayat (2) dengan pasal penghinaan terhadap golongan penduduk di RKUHP.

“Pengesahan pasal-pasal bermasalah pada RKUHP merupakan pengkhianatan reformasi, melegitimasi tindakan kriminalisasi, mengubur semangat demokrasi serta menghapus kehormatan terhadap hak asasi,” terang Gita.

Lewat diskusi bersama tersebut, beberapa peserta mengemukakan rekomendasi terkait RKUHP. Salah satunya adalah Mohamad Sadli Saleh, jurnalis yang pernah menjalani hukuman penjara akibat dijerat pasal karet UU ITE.

Menurut Sadli, pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP perlu dilawan secara bersama-sama sebelum disahkan menjadi KUHP, dan UU ITE harus terus diperjuangkan agar direvisi.

Soal hal ini perlu disuarakan bersama-sama termasuk masayarakat, sebab boleh jadi bukan saja jurnalis yang akan terkena.

“Masyarakat juga perlu diedukasi karena rata-rata mereka suka sekali online di media sosial Facebook, dan lain sebagainya. Ketika mereka curhat masalahnya bersentuhan dengan orang-orang tertentu itu bisa dipidanakan,” ujar Sadli.

Jurnalis dari media Zonasultra.id, Yudin sepakat dengan Sadli bahwa perlu ada kampanye kepada masyarakat terkait dengan ancaman kebebasan berpendapat yang muncul dari adanya pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP.

Sementara peserta dari media Tribunnewssultra, Fadli Aksar menekankan pentingnya aparat penegak hukum agar selalu menyerahkan kasus sengketa pers ke Dewan Pers, bukan malah memproses jurnalis dengan UU ITE.

Hal ini jelas dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang menyebutkan salah satu fungsi Dewan Pers adalah: “memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.” (Pasal 15 Ayat (2)

REDAKSI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *