Oyisultra.com, KENDARI – Kandidat Doktor IPB University La Ode Muhammad Rabiali menyatakan bahwa Lukman Abunawas dan La Ode Ida adalah pasangan ideal untuk menakhodai Sultra dalam 5 tahun kedepan. Karenanya mantan aktivis NGO International ZSL-London itu berharap agar masyarakat Sultra memastikan pilihannya pada pasangan dengan nomor urut 3 itu pada PILGUB Sultra 2024.
Ada minimal 4 alasan kenapa kita harus memenangkan dan memilih pasangan Lukman Abunawas dan La Ode Ida, menurut Alumni UGM dan Mantan aktivis HMI Yogyakarta itu. Pertama, Pasangan ini bukan saja merepresentasikan Daratan Kepulauan dalam pola Geo Politik Sultra, melainkan entitas mereka adalah wujud dari simbol 4 pilar etnis pembentuk Sulawesi Tenggara, yaitu; Muna, Buton, Konawe dan Moronene. Lukman Abunawas memiliki Genitas Kultural bangsawan Tolaki-Moronene, dan La Ode Ida kental dengan darah bangsawan Muna-Buton nya. Jika ditelusur lebih dalam, leluhur mereka adalah raja Muna/ Sultan Buton, dan juga Raja Konawe dan Moronene.
Dalam konteks itu, meskipun kita tidak lagi menganut sistem Feodal Kerajaan masa lalu, tetapi kita harus sadar bahwa ada nilai yang mesti kita hormati dan tegakkan atas kesejarahan kultural dari 4 kerajaan Muna, Buton, Konawe dan Moronene hingga akhirnya menyatu membentuk satu Provinsi dengan nama Sulawesi Tenggara. Dan nilai kesejarahan kultural ini tidak bisa dibangun dan ditegakkan oleh pendatang seperti CAGUB Andi Sumangeruka/ ASR; yang sama sekali tidak memahami kesejarahan kita.
Kedua terkait dengan Integritas dan Ketaatan Hukum. Lukman Abunawas dan La Ode Ida adalah Paslon yang sama sekali tidak pernah terjerat masalah hukum, khususnya kasus korupsi. Terkait kasus hina seperti itu, jika kita mau jujur pernah dialami oleh Nur Alam yang adalah suami dari Cagub 04 Tina Nur Alam.
Logika berfikir rasionalnya adalah bagaimana mungkin kita mesti membebankan tanggungjawab kepemimpinan pada istri mantan koruptor ? Tidak kah kita belajar bahwa koruptor adalah bagian dari penjahat kemanusiaan ? Dan bukankah Tina Nur Alam yang kita lihat selama ini pemikiran dan tindakannya bukan saja terkesan disetting, melainkan dijadikan sebagai mesin penggerak dari roh dan jiwa konstruksi berfikir Nur Alam ?
Dengan jargon Bahteramas Berlayar Kembali, bukankah ini memberi sinyal kembalinya gerakan politik Nur Alam ? Apakah etis dan beradab mempercayakan negeri yang kaya sumber daya alam ini pada mereka yang pernah cacat hukum dan moral ?
Ketiga, pasangan Lukman Abunawas-La Ode Ida anti pada hegemoni kekuasan yang melahirkan politik dinasty. Ini berbeda dengan Paslon lain khususnya Paslon nomor 4. Tina Nur Alam selain berjuang untuk menjadikan dirinya Gubernur, juga memperjuangkan 2 orang anaknya, yang masing-masing adalah Sitya Giona Nur Alam sebagai Calon Walikota Kendari, dan Radhan Nur Alam sebagai Bupati Konawe Selatan. Ini tidak saja memberi kesan serakah melainkan juga menunjukkan mereka sedang membangun Dinasti Politik keluarga.
Dalam konteks yang kurang lebih sama, La Ode Muhammad Ikhsan Taufik Ridwan Cawagub dari Tina Nur Alam merupakan anak Ridwan Bae yang mantan Bupati Muna 2 periode (2000-2005, 2005-2010), dan anggota DPR RI 3 Periode 2014-2019, 2019-2024, 2024-2029). Selanjutnya, saudaranya Ikhsan pun Wa Ode Rabia Al Adawia Ridwan merupakan anggota DPD RI 2 periode (2019-2024, 2024-2029), termasuk saudara laki-lakinya La Ode Muhammad Inarto sebagai anggota DPRD Kota Kendari (2019-2024, 2024-2029).
Di luar Paslon nomor 4 itu, Andi Sumangeruka/ ASR yang jadi Cagub nomor urut 1, juga mendorong adiknya Andi Sulolipu untuk mendampingi Aksan Jaya Putra/AJP sebagai calon Walikota Kendari. Konsekuensi logis dari kultur politik seperti ini adalah tidak saja dengan mudah menciptakan KKN pada multi kebijakan melainkan juga mendorong pengkultusan dan status qou yang secara simultan menutup sirkulasi politik bagi kader-kader dan/ atau putra daerah lain yang ingin tampil dalam arena politik; karena kepentingan hegemoni kekuasaan.
Keempat, Lukman Abunawas-La Ode Ida adalah Paslon dengan kombinasi entitas aktor yang saling melengkapi. Lukman Abunawas memiliki pengetahuan dan pengalaman matang di birokrasi. Beliau mengawali karir dari bawah hingga menjabat sebagai Camat, Kadis Pendidikan hingga duduk pada posisi tertinggi sebagai Sekda Provinsi (2014-2019), yang akhirnya menjadi Wakil Gubernur periode 2019-2024 mendampingi Ali Mazi.
Sementara La Ode Ida sendiri adalah pernah bekerja sebagai akademisi, aktivis NGO international/ nasional, wartawan dan kolomnis di berbagai media nasional international, Staf ahli bidang sosial politik dan pedesaan di Fraksi Karya Pembangunan DPR RI masa orde baru, hingga akhirnya mampu meniti karir sebagai politisi pertama Sultra yang dipercaya menduduki jabatan sebagai Wakil Ketua DPD RI 2 Periode (2004-2009, 2009-2014). La Ode Ida juga adalah mantan Komisioner Ombudsman RI periode 2016-2021, dimana jauh sebelumnya pada tahun 2010 beliau mendapat penghargaaan Bintang Maha Putra Utama dari Presiden SBY sebagai salah satu tokoh yang dianggap berjasa pada negara.
Dengan empat alasan itu sebenarnya, kita sudah cukup menilai dan mengkaji siapa sesungguhnya yang lebih layak memimpin Sulawesi Tenggara, yaitu; bukan pendatang dari luar dan/ atau suku lain seperti ASR dengan pasangannya Hugua yang secara kontroversi pernah berkeinginan melegalkan politik uang sebelum tertolak oleh DPR RI, bukan Ruksamin yang berpasangan dengan Syafei Kahar yang sudah terlalu tua, dan kelihatan tidak punya energy lagi untuk berfikir dan bergerak, bukan orang asli daerah seperti Tina Nur Alam dan pasangannya La Ode Muhammad Ikhsan Taufik Ridwan, yang secara terbuka terkesan serakah membangun hegemoni kekuasaan keluarga, melainkan tokoh lokal yang menasional, cerdas, berintegritas, tidak cacat hukum, visioner, memiliki pengalaman dan kematangan politik dan birokrasi, tegak dalam membangun demokrasi dan partisipasi publik sekaligus menjamin tegaknya sirkulasi kekuasaan.
Jika karakter itu yang kita butuhkan untuk Sultra yang lebih maju dan bangkit, maka sosok ideal itu hanya kita dapatkan pada PASLON nomor Urut 4 Lukman Abunawas dan La Ode Ida. Semoga.
Penulis : La Ode Muhammad Rabiali (Pengamat Politik, Sosial Budaya, dan Pendiri Yayasan KARST Indonesia)