Oyisultra.com, MUNA – Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) tidak hanya terkenal dengan destinasi wisata dan budayanya, akan tetapi dikenal juga sebagai daerah yang menghasilkan kerajinan tangan yang sangat unik. Salah satunya, kerajinan tangan yang berbahan dasar Rotan dan Paku Hata (Nentu).
Rotan merupakan komoditas hasil sumber daya alam hutan non-kayu, yang banyak tumbuh pada daerah hutan hujan tropis. Tanaman rotan adalah sejenis tanaman palem merambat yang bisa tumbuh dengan panjang mencapai 100 meter lebih.
Sementara itu, Paku Hata atau dalam bahasa Muna adalah Nentu merupakan tumbuhan paku/pakis (fern) dan termasuk ke dalam keluarga Lygodiaceae. Tanaman ini mempunyai ciri merambat ke atas beberapa meter pada tanaman lain, untuk mendapatkan sinar matahari bagi pertumbuhannya dan memiliki rhizome yang berada di dalam tanah.
Umumnya, tumbuhan Paku Hata dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias dalam ruang dan diperjualbelikan secara bebas. Tanaman ini dapat digunakan sebagai bahan baku dalam industri kerajinan anyaman.
Di Kabupaten Muna sendiri, pengrajin dengan berbahan dasar Rotan dan Paku Hata (Nentu) tersebar pada hampir semua wilayah, namun saat ini yang benar-benar menekuni kerajinan ini ada di Desa Mantobua, Kecamatan Lohia, Kabupaten Muna.
Masyarakat Desa Mantobua dikenal dengan pengrajin Rotan dan Nentu alami, mulai dari proses pengambilan bahan baku sampai pada hasil akhir semua dikerjakan dengan cara tradisional.
Kerajinan tangan yang mereka hasilkan sudah banyak macam jenis produk, mulai dari ukuran yang kecil bahkan ukurannya yang cukup besar, beberapa produk yang dihasilkan diantaranya, talang besar (Dulang), alas piring, bosara dan masih banyak lagi. Anyaman yang dihasilkan juga sangat rapi dan kuat.
Salah satu pengrajin, Wa Nisu (45) menjelaskan, bahwa untuk membuat anyaman bahan utama yang perlu disiapkan yakni Paku Hata (Nentu) dan batang Rotan, tumbuhan Nentu dan Rotan biasanya mereka dapatkan di hutan atau di beli.
“Kalau untuk bahan baku, untuk Paku Hata (Nentu) kami dapatkan di hutan, kalau Rotan biasa di beli di Maligano,” ucap Wa Nisu saat ditemui di kediamannya, beberapa hari lalu.
Ia mengungkapkan, dalam proses pembuatan anyaman untuk membersihkan batang Nentu sangat rumit sehingga perlu hati-hati agar tidak putus. Sedangkan untuk bahan baku rotan hanya perlu dibersihkan dan dikeringkan untuk dapat digunakan.
“Untuk proses pembuatan awalnya dengan membuat pola dasar sesuai ukuran anyaman yang akan dihasilkan,” ungkapnya.
Ia menambahkan, untuk pembuatan anyaman Talang Besar (Dulang) langkah yang perlu dilakukan dengan membuat lebar dasar dengan ukuran 24 cm, lalu membentuk lingkaran kecil untuk dasar kaki Dulang dengan lebar 22 cm, setelah kaki Dulang selesai selanjutnya membuat penutup talang besar (Dulang).
“Langkah pertama membentuk pola dasar dengan ukuran 8 cm, lalu diturunkan kebawah sambungan Rotan dan Nentu dengan lebar 21 cm, kemudian membuat anyaman yang lebih besar lagi ukuran 22 cm sebagai penutup Talang Besar (Dulang),” tambahnya.
Ia mengatakan, dirinya mampu menyelesaikan kerajinan yang berbahan dasar Rotan dengan jenis Dulang dengan waktu kurang lebih satu Minggu. Sementara untuk bahan dasarnya Nentu bisa memakan waktu hingga satu bulan lamanya.
“Kami membuat anyaman dari Rotan dan Nentu ini tergantung pesanan saja, kalau ada yang pesan kami sudah mulai menyiapkan bahan baku,” ujarnya.
Ia menerangkan, untuk anyaman yang berbahan dasar Rotan dan Paku Hata memiliki harga yang bervariasi tergantung dengan bahan, ukuran dan bentuk anyaman yang ingin dipesan.
“Untuk harga Dulang tergantung ukuran ada yang harganya mulai dari Rp 700-800 ribu bahkan bisa sampai Rp 1 juta, itu juga tergantung bahan yang digunakan,” tutupnya. (Adv/OS)
Penulis : ASEP
Publisher : FITRI F. NINGRUM