Oyisultra.com, KENDARI – Kuasa hukum masyarakat pemilik lahan di kawasan Tapak Kuda, Kota Kendari, Abdul Razak Said Ali SH menegaskan bahwa agenda konstatering (pencocokan objek putusan) yang dijadwalkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Kendari pada Kamis (30/10/2025) tidak dapat dianggap terlaksana secara hukum, karena tidak dilakukan pencocokan langsung di lapangan terhadap objek perkara.
Menurut Abdul Razak, pelaksanaan konstatering yang hanya berupa pembacaan penetapan tanpa turun langsung ke lapangan tidak memenuhi ketentuan hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam Buku Pedoman Eksekusi pada Pengadilan Negeri.
“Konstantering itu bukan sekadar membacakan penetapan, tetapi wajib dilakukan pencocokan objek yang ada dalam putusan dengan keadaan sebenarnya di lapangan,” tegas Kuasa Hukum Masyarakat Tapak Kuda, Abdul Razak Said Ali SH kepada awak media, Kamis (30/10/2025).
Ia menjelaskan, objek dalam perkara dimaksud adalah Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 1 Tahun 1981 atas nama Kopperson yang telah berakhir sejak 30 Juni 1999, sehingga secara hukum objek tersebut telah “mati” atau tidak lagi eksis.
“Objek dalam putusan itu sudah tidak ada, karena HGU-nya telah berakhir sejak 1999. Artinya, objek yang akan dikonstantering berdasarkan hukum sudah mati atau musnah,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengutip ketentuan dalam Buku Pedoman Eksekusi yang menyebutkan bahwa putusan dinyatakan non executable jika objek eksekusi sudah musnah, tidak jelas batas-batasnya, atau telah menjadi tanah negara.
“Dalam konteks ini, setelah HGU Kopperson berakhir, tanah di Tapak Kuda otomatis kembali menjadi tanah negara. Setelah itu, masyarakat diberikan Sertifikat Hak Milik (SHM) oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Kendari, yang saat itu dipimpin oleh LM. Ruslan Emba. Jadi kepemilikan masyarakat itu sah secara hukum,” jelasnya.
Ia menambahkan, hasil konstatering hari ini menunjukkan bahwa batas-batas objek perkara tidak dapat ditentukan, karena secara faktual objek tersebut memang sudah tidak ada lagi.
“Faktanya, posisi dan batas-batas objek itu tidak bisa ditentukan. Jadi sangat jelas bahwa putusan itu sudah tidak bisa dieksekusi,” tegasnya lagi.
Dengan dasar itu, pihaknya meminta Ketua Pengadilan Negeri Kendari untuk menyatakan putusan perkara Nomor: 48/Pdt.G/1993/PN Kdi sebagai non executable, sebagaimana diatur dalam pedoman eksekusi.
“Kami memohon agar Ketua PN Kendari, berdasarkan fakta lapangan, dapat menyatakan putusan itu non executable karena objeknya sudah mati atau musnah,” katanya.
Ia juga menilai pembacaan penetapan konstatering oleh PN Kendari tanpa pengecekan lapangan tidak memiliki konsekuensi hukum.
“Konstantering tidak bisa dianggap selesai hanya karena sudah dibacakan penetapannya. Kalau begitu, biar tengah malam saja dibacakan, sudah dianggap konstatering. Padahal tidak begitu hukum acaranya,” ujarnya sambil menegaskan bahwa ia yakin Ketua PN Kendari memahami prinsip tersebut



 
																						





