La Ode Muhammad Rabiali Desak Batalkan Lambang Kuda Yonif Sugi Manuru di Muna

Oyisultra.com, MUNA – Sehari setelah diputuskan, lambang YONIF Sugi Manuru langsung menuai kritik. Pemerhati adat, sejarah dan budaya Muna La Ode Muhammad Rabiali meminta agar PEMDA Muna dan Kodim 1416 membatalkan gambar Kuda sebagai lambang YONIF Sugi Manuru yang baru saja diputuskan dalam rapat Pembentukan Nama YONIF dan Lambang pada 28 Oktober 2025, kemarin.

Menurutnya, gambar seekor kuda jingkrat (Gambar tunggal) yang direncanakan menghadap kekiri adalah lambang daerah Kabupaten Muna Barat.

“Jika ini dipaksakan maka akan jadi polemik dan kontroversi, karena Pemda dianggap meniru dan tidak inovasi dan kreatif memutuskan lambang YONIF Sugi Manuru, meskipun itu dilakukan melalui keputusan rapat bersama para tokoh,” kata La Ode Muhammad Rabiali melalui rilis persnya yang diterima media ini, Rabu (29/10/2025).

Ketua Rumpun Keluarga Aro Tontomau (KERATON) Aro Wasolangka La Ode Hasani itu menyatakan, jika mau dipaksakan gambar Kuda sebagai lambang, maka sebaiknya kembali pada lambang daerah Kabupaten Muna, yaitu: 2 ekor kuda yang berkelahi, ditambah dengan elemen gambar budaya lainnya.

Namun menurutnya itu tidak akan
menciptakan keindahan, keunikan, dan kebaikan pada lambang. Apalagi dalam banyak lambang YONIF diberbagai daerah, hampir semuanya tidak selalu sama dengan lambang
daerah.

Rabiali menegaskan gambar satu ekor kuda jingkrak adalah gambar tak bermakna dan akan mempengaruhi semangat dan psikologis setiap prajurit YONIF TP Sugi Manuru.

Karenanya, ia berharap agar gambar lambang benar-benar dikaji kembali dan didesain sehingga merepresentasikan identitas sejarah dan budaya Muna.

Rabiali menyindir tokoh yang memunculkan usulan gambar kuda itu, tidak memahami identitas region, adat, sejarah dan budaya Wuna. Jika dikaji dalam perspektif sejarah, menurutnya pulau Muna dimasa lalu
memang memiliki banyak kuda.

“Bahkan dalam buku Elbert (1911) berjudul Die SundaExpedition des Vereins für Geographie und Statistik zu Frankfurt am Main, sub judul Die Insel Muna; Erste Eindrucke dituliskan bahwa pulau Muna memiliki banyak kuda berjenis poni, yang kuat. Penduduk Muna adalah penunggang kuda yang buruk dan tidak tahu cara menangani kuda. Mereka memotong punggung hewan (kuda) yang tertangkap untuk mencegah mereka melarikan diri akibat rasa sakit. Elbert mengatakan waktu mereka di Muna (1909-1910), butuh waktu 3 hari baru mereka bisa menunggangi kuda dengan baik,” jelasnya.

Dalam konteks itu, Rabiali mengatakan bahwa kuda Muna tidak kuat dijadikan sebagai simbol budaya pada lambang YONIF TP Sugi Manuru.

Kandidat Doktor Konservasi Biodiversitas Tropika itu juga mengatakan jika elemen
sejarah dan budaya mau dimasukkan sebagai simbol pada lambang YONIF TP Sugi Manuru, maka simbol Kontu Kowuna (Batu Berbunga) dan Pandanga (Tombak) adalah yang tepat, dan memiliki nilai sejarah dan budaya yang sangat kuat untuk dijadikan lambang. Penempatan
gambar simbol Kontu Kowuna dan Pandanga pada lambang dimaknai sebagai representasi perpaduan antara sejarah Muna, kearifan lokal, dan semangat tempur modern TNI AD.

Rabiali, mengatakan ada beberapa alasan kuat yang mendasari itu:

Pertama, Kontu Kowuna adalah sejarah awal keberadaan orang Muna yang sudah menjadi identitas region. Nama Muna sebagai kerajaan dan atau kabupaten diambil dari nama Kontu Kowuna, yang dalam perkembangan bahasa komunikasi berubah menjadi Muna. Nama Woena ini bahkan tertulis dalam jurnal : HET JOURNAAL VAN PADTBRUGGE’S REIS NAAR NOORD-CELEBES EN DENOORDEREILANDEN (16 Aug.—23 Dec. 1677), Author (s): P. A. Leupe. Pada halaman 217 jurnal itu menceritakan tentang raja Muna, dimana Muna atau Wuna dituliskan dengan kata Woena. Petikan Sebagian dari kalimatnya adalah sebagai berikut: De brieven zoo van den 2 Koning en regering van Bouton als Koning. van Woena werden gelezen, en den man die met mooi praten zijn zaak niet goed konde maken, met vrede gelaten.

Kedua, Dimasa lalu Kontu Kowuna dipercaya oleh orang Muna memiliki keindahan, keunikan, kelangkaan dan penuh keberkahan. Atas hal itu Kontu Kowuna oleh bapak La Saso (Alm) yang adalah seorang guru seni dan mantan kepala sekolah SMP Negeri 3 Raha mengabadikan nama Kontu Kowuna menjadi judul lagu, dimana lagu itu dulu sering dinyanyikan oleh masyarakat, pelajar (SD, SMP, dan SMA/ SMK) bahkan mahasiswa. Inisiasi itu dilakukan agar semua orang Muna mengenal, mengetahui dan tidak melupakan cerita sejarah
Kontu Kowuna sebagai awal sejarah peradaban orang Muna. Dalam liriknya La Saso (Alm) yang lahir pada tahun 1932 menyebut bahwa di Kontu Kowuna itulah tanah Muna, dan karena keberadaan Kontu Kowuna itulah yang menyebabkan adanya nama Wuna dan atau Muna.

Ketiga, dalam koteks tombak menurut Rabiali, merupakan senjata tradisional orang Muna yang hari ini mulai dilupakan. Dimasa lalu orang Muna berpergian kemanapun selalu
membawa tombak sebagai alat pelindung diri dari musuh atau binatang buas. Selain itu, tombak digunakan juga untuk berperang dan berburu. Tombak sebagai senjata tradisional orang Muna dijelaskan dalam buku Elbert (1911) sebagaimana judul diatas yang menyebutkan bahwa orang Muna memiliki kebiasaan membawa tombak untuk melindungi diri. Dituliskan pada halaman 164 sebagai berikut: Begleitct von einer ableilung soldaten und uinem unler offizier stieb Grundler auf einige Muna-Leute, die auber ihren speeren zum schutze gegen die wilden schweine auch eine feuerwafle Irugen Potongan kalimat ini bermakna: ditemani oleh sekelompok tentara dan seorang perwira, Grundler bertemu dengan beberapa orang Muna yang membawa tombak untuk melindungi diri dari babi hutan serta senapan.
Selanjutnya pada halaman 165 buku itu juga menjelaskan bahwa; Olme waffe verlassen sie niemals das haus, und auf ihren wanderungen ist die Lauze ihr steter Begleiter. Artinya kurang lebih orang-orang tersebut (orang-orang Muna) selalu membawa senjata terutama tombak ke
mana pun mereka pergi.

Keempat, Dimasa Kerajaan Muna selain dijadikan senjata tradisional untuk melawan musuh, tombak juga dijadikan sebagai alat untuk menghukum pejabat yang melakukan pelanggaran atau kesalahan berat. Dalam konteks itu, maka tombak sebagai senjata tradisional orang Muna, juga digunakan untuk menegakkan hukum dan keadilan.

Selanjutnya, ketika ditanya apakah lambang kuda yang telah diputuskan bisa dibatalkan? Rabiali dengan enteng menjawab semua tergantung Pemda dan KODIM 1416 Muna. Anggap saja lambang yang telah diputuskan harus melalui uji publik. Dan hari ini publik melihat lambang kuda berdiri tunggal itu sangat buruk, dan diasumsikan menyontek lambang Kabupaten Muna Barat.

Selain itu, juga tidak mencerminkan filosofi semangat keprajuritan Batalyon Infantri. Karenanya wajib dipertimbangkan untuk dirubah dan atau diganti.

“Dalam konteks itu, tentunya kita harus memberikan keleluasan pada KODIM 1416 untuk juga membuat keputusan, karena pada rapat pembentukan nama YONIF Sugi Manuru kemaren mereka hanya sebatas menerima dan mendengarkan. Dan ini saya pikir tidak logis dan fair,” ujar Rabiali.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *