Oyisultra.com, KENDARI — Pertanian yang selama ini menjadi penopang utama ekonomi Pulau Wawonii, Kabupaten Konawe Kepulauan (Konkep), kini tak lagi sekuat dulu. Hasil panen menurun, cuaca sulit ditebak, dan cara bertani tradisional membuat banyak warga mulai kesulitan menggantungkan hidup dari kebun. Dalam kondisi ini, urgensi investasi muncul sebagai peluang baru untuk menjaga roda ekonomi pulau tetap berputar.
Kondisi tersebut mencuat dalam diskusi yang digelar LSM Jaring Nusa dan Komnasdesa Sultra bertajuk “Sharing Session & Eksposur Awal Hasil Penelitian di Pulau Wawonii: Pengelolaan Sumber Daya Alam Pulau Wawonii Sulawesi Tenggara” yang berlangsung secara daring dan tatap muka akhir tahun lalu
(12/24).
“Tren produktivitas hasil pertanian, baik kelapa maupun jambu mete dalam tiga tahun terakhir mengalami penurunan, sehingga tidak lagi ekonomis,” ujar Rosniawati, Peneliti Lapangan Pulau Wawonii.
Perubahan Iklim Hantam Produktivitas Petani
Wawonii selama ini dikenal subur dan hijau, namun perubahan iklim telah mengubah banyak hal. Tanaman jambu mete dan kelapa, dua komoditas utama masyarakat, tak lagi memberi hasil seperti dulu.
Kepala Bappeda Konawe Kepulauan, Safiudin Alibas, menjelaskan bahwa pola tanam tradisional yang diwariskan turun-temurun kini menghadapi tantangan besar akibat cuaca ekstrem.
“Jambu, saat sedang atau mulai berbunga, sangat membutuhkan cuaca panas atau tidak hujan agar bisa menghasilkan buah yang baik. Sementara dalam beberapa tahun terakhir, saat jambu sedang berbunga justru hujan terus menerus. Tentu ini sangat berpengaruh sekali kepada buah jambu yang dihasilkan,”
ungkapnya.
Selain sektor pertanian, potensi perikanan sebenarnya masih besar, tetapi belum tergarap optimal. “Nelayan di Konkep terkendala pada mesin kapal yang dipakai. Rerata mesin kapal nelayan adalah 5 GT, sehingga tidak bisa melaut lebih jauh,” tambah Safiudin.
Perubahan iklim juga dirasakan langsung oleh masyarakat. Ruinaldo, warga Desa Roko-Roko, menuturkan bahwa musim yang tak menentu telah membuat banyak petani merugi.
“Biasanya jambu mete mulai berbunga pada bulan Oktober, bertepatan dengan musim panas. Tapi dalam empat tahun terakhir, hujan terus turun hingga akhir tahun, sehingga banyak yang gagal berbuah,” jelasnya.
Investasi Sebagai Jalan Keluar
Kondisi yang terjadi di Wawonii mencerminkan tantangan yang dihadapi banyak wilayah kepulauan di Indonesia, yakni ketergantungan pada pertanian tradisional tanpa inovasi teknologi membuat ekonomi masyarakat mudah rapuh terhadap perubahan iklim dan harga komoditas.
Kondisi ini memaksa Pemerintah Daerah dan masyarakat mulai mencari alternatif melalui berbagai peluang investasi yang ada dalam membangun perekonomian daerah.
“Investasi di Konkep saat ini sangat diperlukan. Kehadiran investasi mutlak diperlukan bagi daerah dengan tingkat pendapatan menengah ke bawah seperti Konkep. Apalagi, kehadiran investasi di Konkep telah nyata mendorong pertumbuhan ekonomi daerah maupun masyarakat,” ujar Safiudin.
Ia menambahkan, agar manfaat investasi terasa luas, pemerintah daerah perlu menyiapkan tenaga kerja lokal yang kompeten serta memastikan kebijakan daerah menjamin kenyamanan masyarakat.
“Pemerintah harus memastikan multiplier effect dari investasi, agar masyarakat tidak sekadar jadi penonton,” ujarnya.
Pandangan serupa datang dari Andiman, tokoh muda asal Wawonii yang telah menempuh studi Magister Ekonomi di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Ia menilai investasi berperan penting sebagai “perpanjangan tangan pemerintah” dalam mempercepat pembangunan wilayah kepulauan.
“Kita harus sadar fakta bahwa ada kesenjangan percepatan pembangunan antara mereka yang tinggal di pulau dan di daratan. Ini bukan soal diskriminasi, tetapi keterbatasan akses. Sehingga, solusi paling masuk akal untuk mengejar ketertinggalan ini adalah keterbukaan, khususnya pada investasi,” tegasnya.
Menurutnya, investasi tidak hanya soal modal, tetapi juga tentang peningkatan kualitas manusia dan infrastruktur. Jika dikelola dengan baik, investasi dapat menjadi jembatan bagi Wawonii untuk keluar dari ketergantungan pada sektor pertanian yang semakin rapuh.