Menyoal Pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah Pasca Putusan MK Nomor 135/PUU‑XXII/2024

Oyisultra.com, KENDARI – Dalam konteks negara hukum, Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan instrumen utama dalam mewujudkan kedaulatan rakyat dan menjalankan prinsip demokrasi. Pemilu menjadi media bagi rakyat untuk menyampaikan kehendaknya secara langsung, bebas, jujur, dan adil dalam menentukan pemimpin serta wakil-wakilnya di lembaga negara. Fungsi pemilu tidak hanya terbatas sebagai mekanisme peralihan kekuasaan yang sah secara konstitusional, tetapi juga berfungsi sebagai manifestasi konkret dari pelaksanaan hak politik warga negara.

Hal mana, disebutkan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegasikan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, sedangkan pada Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa pemilu diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

Secara historis, Pemilu legislatif dan pemilihan presiden pertama secara langsung terjadi pada tahun 2004. Dalam perkembangannya, konsep pemilu mengalami pembaruan dan terjadi revisi terhadap Undang-Undang Pemilu guna menyesuaikan dengan dinamika politik dan kebutuhan hukum. Terjadi perubahan yang cukup siginifikan dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, yang menetapkan model pemilu serentak sebagai konsekuensi dari upaya memperkuat sistem Presidensial. Pemilu serentak dimaksudkan untuk mencegah fragmentasi politik dan meningkatkan efisiensi penyelenggaraan Pemilu.

Namun dalam praktiknya, pelaksanaan pemilu serentak nasional tahun 2019 dan 2024 menunjukkan sejumlah tantangan serius, seperti banyaknya penyelenggara meninggal dunia akibat kelelahan, rendahnya kualitas deliberasi publik, beban kerja penyelenggara, polarisasi masyarakat, hingga problem aplikasi sirekap.

Terbaru, untuk menanggapi probelamatika teknis dan politik dalam pelaksanaan pemilu serentak, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 mengambil langkah strategis dengan memutuskan bahwa pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah sebaiknya dipisahkan dan tidak diselenggarakan secara bersamaan.

Mahkamah menegaskan bahwa penyatuan seluruh jenis pemilu dalam satu waktu telah menimbulkan kerumitan administratif yang signifikan dan secara nyata berpotensi melemahkan kualitas pemilu, baik dari sisi efektivitas penyelenggaraan maupun partisipasi pemilih.

Polemik Pemisahan Pemilu Nasional Dan Pemilu Daerah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 menimbulkan perdebatan yang cukup luas dan mendalam dalam ranah ketatanegaraan Indonesia, terutama terkait dengan tata kelola sistem pemilihan umum.

Mengutip amar putusan Mahkamah, bahwa pelaksanaan pemilu yang dilakukan secara serentak antara tingkat nasional dan daerah justru menimbulkan sejumlah permasalahan serius, baik dari segi administratif maupun kualitas demokrasi. Mahkamah menilai bahwa sistem pemilu serentak tersebut memicu kerumitan administrasi yang signifikan, mulai dari beban kerja berlipat bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga potensi kesalahan teknis yang dapat mengganggu kelancaran pemungutan suara.

Putusan Mahkamah tersebut sesungguhnya tidak hanya berdampak pada aspek teknis dan operasional penyelenggaraan pemilu, tetapi juga membuka babak baru dalam dinamika politik hukum dan tata negara Indonesia. Secara konseptual, pemisahan pemilu nasional dan daerah berimplikasi pada perombakan struktur demokrasi elektoral yang selama ini mengandalkan pemilu serentak sebagai mekanisme integrasi penyelenggaraan. Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi ini menggambarkan bagaimana yudisial memegang peranan sentral dalam menetapkan norma yang memiliki konsekuensi luas bagi desain demokrasi Indonesia.

Jalan keluar dari pemilu yang rumit
Mahkamah Konstitusi menyoroti pemilu serentak cenderung melemahkan kualitas demokrasi. Beban psikologis dan finansial yang harus ditanggung oleh penyelenggara dan pemilih pun dianggap tidak proporsional, yang pada akhirnya berimplikasi pada turunnya partisipasi politik dan legitimasi hasil pemilu.

Sebagai solusi dari kerumitan Pemilu, Mahkamah Konstitusi memutuskan agar pelaksanaan pemilu nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu yang wajar, sehingga memungkinkan penyelenggaraan yang lebih fokus, terorganisir, dan berkualitas. Keputusan ini juga diharapkan dapat memberikan ruang bagi peningkatan kontrol dan partisipasi publik dalam setiap tahapan pemilu, serta mengurangi risiko terjadinya overload administrasi dan kesalahan teknis.

Menurut Mahkamah, Pemisahan pemilu nasional dan daerah membawa konsekuensi yang signifikan bagi sistem demokrasi Indonesia, baik dari sisi teknis, hukum, maupun politik. Secara teknis, pemisahan ini diharapkan dapat meringankan beban kerja penyelenggara pemilu yang selama ini harus menangani berbagai proses pemilihan dalam satu waktu bersamaan. Dengan pemilu yang dilaksanakan secara terpisah, penyelenggara dapat lebih fokus dan optimal dalam mengelola setiap tahapan pemilu, mulai dari persiapan, pelaksanaan, hingga pengawasan, sehingga meningkatkan kualitas penyelenggaraan secara keseluruhan.

Dari perspektif pemilih, pemisahan pemilu diyakini dapat memberikan ruang yang lebih besar bagi masyarakat untuk memahami dan menilai setiap jenis pemilihan secara lebih mendalam, tanpa harus terbagi perhatian pada banyak jenis kontestasi politik dalam satu waktu.
Judicial activism versus judicial restraint Pasca Putusan MK berkait pemisahan Pemilu Nasional dan daerah, terjadi perdebatan konstitusional dikalangan akademisi, praktisi hukum, dan pengamat politik. Sebagian pihak menilai bahwa Mahkamah Konstitusi telah melampaui peran konstitusionalnya yang tugas utamanya adalah menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar tanpa kewenangan untuk menciptakan norma hukum baru secara substantif.

Diskursus tersebut, memunculkan perdebatan mendalam tentang konsep judicial activism versus judicial restraint. Dalam praktik yudisial Mahkamah Konstitusi, secara sederhana, Judicial activism dapat dipahami sebagai sikap aktif pengadilan konstitusi dalam menafsirkan dan mengembangkan hukum konstitusi demi tujuan keadilan dan kepentingan masyarakat.

Artinya, konsep judicial activism berpotensi menggeser peran konstitusional lembaga legislatif dan eksekutif dalam pembentukan kebijakan publik. Judicial activism memang memiliki sisi positif sebagai respons terhadap kegagalan legislatif atau keadaan darurat konstitusional, tetapi jika tidak dibarengi dengan batasan kewenangan yang jelas, hal ini dapat merusak tatanan demokrasi dan pemerintahan yang baik. Sedangkan, judicial restraint menempatkan pengadilan pada posisi lebih terbatas dan deferensial terhadap kewenangan legislatif dan eksekutif.

Dalam putusan ini, Mahkamah seolah-olah mengambil peran legislator positif dengan menetapkan kebijakan pemisahan pemilu yang sebelumnya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang in casu DPR dan Presiden. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi ketidakseimbangan fungsi kekuasaan dalam sistem demokrasi konstitusional Indonesia. Pergeseran ini menimbulkan dilema yang kompleks antara kebutuhan akan efisiensi sistem elektoral dengan legitimasi demokratis yang harus dijaga dalam penyusunan norma pemilu.

Negative Legislator Mahkamah Konstitusi (MK) memegang posisi sentral dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai lembaga yang bertugas menjaga Konstitusi (guardian of the constitution). Secara tradsional, selama ini mengenal Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator, yakni peran yang menempatkannya untuk membatalkan atau menolak norma-norma hukum yang bertentangan dengan UUD 1945 tanpa harus menciptakan norma hukum baru.

Hal ini menegaskan bahwa MK bertindak sebagai pengawal kerangka hukum yang sudah ada, bukan sebagai pembentuk kebijakan hukum. Pendekatan ini penting agar prinsip separation of powers tetap terjaga, sehingga kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif masing-masing menjalankan fungsinya tanpa terjadi dominasi atau tumpang tindih kewenangan yang dapat mengancam demokrasi.

Hans Kelsen, menekankan bahwa lembaga peradilan konstitusi harus tetap berada dalam kerangka menjaga hukum, bukan membentuk hukum baru. Namun, dalam praktiknya, perkembangan kekuasaan yudisial modern menunjukkan adanya ekspansi peran Mahkamah Konstitusi ke ranah positive legislator de facto, khususnya ketika kekosongan hukum atau kekaburan norma dianggap berpotensi merusak prinsip konstitusional. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 memberi batasan bahwa pemisahan pemilu nasional dan daerah diperlukan demi efektivitas dan kualitas demokrasi. Putusan ini mencerminkan bentuk interpretasi kekuasaan yang melampaui fungsi judicial review biasa, karena secara substantif menghasilkan norma baru yang berdampak langsung terhadap sistem politik dan hukum pemilu di Indonesia.

Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah Mempengaruhi Prinsip Kedaulatan Rakyat Dalam mewujudkan kedaulatan rakyat, Pemilu adalah instrumen utamanya. Melalui pemilu yang bebas, jujur, adil, langsung, umum, dan rahasia, rakyat menyalurkan kehendaknya untuk menentukan arah kekuasaan politik dan menetapkan preferensi atas kebijakan publik. Namun, efektivitas kedaulatan rakyat sangat ditentukan oleh desain sistem pemilu yang diterapkan. Sistem yang tidak proporsional, tidak inklusif, atau sarat beban administratif dapat menyebabkan distorsi keterwakilan, ketimpangan partisipasi, bahkan delegitimasi hasil pemilu itu sendiri.

Mencermati Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024, issue kedaulatan rakyat memperoleh relevansi baru. Keputusan pemisahan pemilu nasional dan daerah, memunculkan perdebatan mengenai implikasi desain elektoral terhadap hak rakyat dalam menggunakan kedaulatannya secara penuh. Di satu sisi, pemisahan dapat mengurangi kompleksitas teknis dan memperkuat fokus pemilih terhadap isu lokal dan nasional secara terpisah. Pada sisi yang lain, fragmentasi waktu pelaksanaan pemilu bisa menurunkan partisipasi, membingungkan pemilih dan memengaruhi kohesivitas politik nasional.

Lebih jauh, Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut secara tidak langsung menggeser kewenangan pengaturan pemilu dari legislator ke yudikatif, yang membawa konsekuensi terhadap legitimasi proses legislasi. Memahami kedaulatan rakyat tidak hanya dipandang dari aspek normatif, tetapi juga menjadi kunci dalam menilai dampak putusan hukum terhadap struktur demokrasi elektoral dan perimbangan kekuasaan antar-lembaga.

Selain itu, kedaulatan rakyat tidak bisa hanya dipahami dalam kerangka formal prosedural. Namun demikian, harus dikaji sebagai prinsip yang hidup, menuntut adanya representasi politik yang adil, ruang partisipasi yang luas, serta kejelasan arah kebijakan hukum yang menjamin kontrol rakyat atas kekuasaan, termasuk melalui pengaturan desain pemilu yang efektif, inklusif, dan demokratis.

Penutup

Pemisahan pemilu nasional dan daerah sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 adalah suatu pelampauan batas kewenangan. Mahkamah sebagai negative legislator yang selama ini menjadi prinsip dasar fungsi yudisialnya. Fenomena ini, menimbulkan kekhawatiran akan pergeseran kekuasaan yudisial ke ranah pembuatan kebijakan (judicial policymaking), yang semestinya menjadi tugas legislatif dan eksekutif.

Oleh: Muhammad Sam Almunawi,
Praktisi Hukum

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *