Oyisultra.com, KONAWE UTARA – Aktivitas pertambangan PT Dwi Mitra Multiguna Sejahtera (PT DMS) di Kecamatan Lasolo, Kabupaten Konawe Utara (Konut) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) tersimpan sejumlah dugaan pelanggaran yang hingga kini belum tersentuh penindakan serius.
Perusahaan yang mulai beroperasi sejak 2010 ini diduga tidak menjalankan kewajiban reklamasi lahan pascatambang. Padahal, hampir 80 persen dari sekitar 200 hektare wilayah IUP telah berubah menjadi lahan terbuka, menyisakan lubang-lubang raksasa bekas galian tambang.
Pejuang lingkungan dari lembaga Pemerhati Daerah Konawe Utara (P3D Konut) menerangkan bahwa perusahaan tersebut telah menghasilkan jutaan metrik ton ore nikel, namun upaya pemulihan lingkungan belum juga terlihat.
Padahal, kewajiban reklamasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, serta Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang.
“Regulasi tersebut mewajibkan setiap pemegang IUP untuk memulihkan lahan pascatambang sesuai peruntukannya,” ungkap Ketua Umum P3D Konut, Jefri, Jumat (19/12/2025).
Putra asli daerah Konawe Utara itu menduga, aktivitas penambangan PT DMS tidak sesuai dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan rencana reklamasi. Perusahaan disebut meninggalkan sejumlah lubang bukaan tambang (void) yang cukup luas dan dalam. Diperkirakan, luas lubang bukaan mencapai 20 hingga 30 hektare dengan kedalaman sekitar 15 hingga 20 meter.
“Lubang-lubang tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang jika tidak segera direklamasi. Perusahaan dinilai harus bertanggung jawab penuh atas pemulihan lahan yang telah ditambang,” tegas Jefri.

Aktivitas pertambangan PT DMS Lasolo juga dinilai membawa dampak serius bagi masyarakat sekitar. Jarak antara lokasi tambang dan permukiman warga diperkirakan hanya sekitar 500 meter. Sedimentasi lumpur dari area tambang dilaporkan mengalir ke laut dan tambak masyarakat.
“Kondisi tersebut mengakibatkan kerugian besar bagi nelayan dan pembudidaya tambak di sekitar lokasi. Pembuatan kolam sedimen (sediment pond) diduga tidak dilakukan berdasarkan kajian lingkungan yang memadai,” ujarnya.
Atas kondisi tersebut, ia mendesak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk melakukan pengawasan ketat terhadap aktivitas PT DMS. Mereka juga meminta agar Kementerian ESDM tidak menerbitkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) serta mencabut izin usaha PT DMS Lasolo karena dinilai merugikan masyarakat dan lingkungan.
Selain pelanggaran lingkungan, P3D Konut juga menduga PT DMS di Lasolo melakukan aktivitas pertambangan di kawasan hutan lindung. Hal ini dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 50 ayat (3) huruf e yang melarang setiap orang menebang pohon atau memungut hasil hutan tanpa izin dari pejabat berwenang.
Kawasan hutan lindung yang sebelumnya diperuntukkan bagi tanaman mangrove guna melindungi wilayah pesisir Lasolo, kini dilaporkan telah rusak dan hilang akibat aktivitas pertambangan.
“Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, kami meminta Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang melibatkan Kejaksaan Agung, Kementerian Kehutanan, Mabes TNI, dan Mabes Polri untuk segera menertibkan kawasan hutan lindung dalam wilayah IUP PT DMS,” pintah Jefri.
Penertiban tersebut diharapkan dilakukan dengan menghentikan aktivitas pertambangan, memasang plang larangan, serta menjatuhkan sanksi tegas kepada PT DMS sesuai ketentuan hukum yang berlaku.









