Oyisultra.com, KENDARI – Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Komite Bersama Pemuda Untuk Masyarakat (KBPUM) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut tuntas dugaan keterlibatan Anggota DPR RI Fraksi Gerindra asal Sultra berinisial BB dalam kasus korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tahun anggaran 2021–2023.
Desakan itu muncul setelah KPK menetapkan dua anggota DPR RI sebagai tersangka pada 7 Agustus 2025, yakni Heri Gunawan (Gerindra) dengan nilai dugaan korupsi Rp15,86 miliar dan Satori (Nasdem) sebesar Rp12,52 miliar.
Keduanya diduga menggunakan dana CSR untuk kepentingan pribadi, seperti pembelian tanah, pembangunan usaha, hingga penempatan deposito.
Dalam pengakuannya, Satori menyebut sedikitnya 44 anggota Komisi XI DPR RI periode 2019–2024 ikut menerima aliran dana, termasuk BB. Nama BB semakin mencuat karena ia sebelumnya menggantikan Haerul Saleh melalui mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW) pada 2020 dan kini menjabat Wakil Ketua Komisi II DPR RI.
Modus penyelewengan dana dilakukan melalui beberapa skema, salah satunya penyaluran dana melalui yayasan fiktif yang tidak tercatat resmi.
Ketua DPW KBPUM Sultra, Ikmal Putra Saranani, menegaskan KPK tidak boleh berhenti pada penetapan dua tersangka saja.
“Kami mendesak KPK melakukan penyelidikan intensif terhadap keterlibatan Bahtra Banong dan anggota DPR lainnya. Jangan ada yang dilindungi. Uang rakyat harus dikembalikan dan para pelaku dihukum seberat-beratnya,” tegas Ikmal Putra Saranani, Minggu (14/9/2025).
Selain itu, KBPUM meminta mekanisme penyaluran dana CSR dilakukan secara transparan dan akuntabel serta memperketat pengawasan terhadap yayasan penerima untuk mencegah penyalahgunaan serupa.
Kasus korupsi CSR BI-OJK ini diduga melibatkan sedikitnya 47 anggota Komisi XI DPR RI dari sembilan fraksi, dengan aliran dana rata-rata Rp25 miliar per orang.
KPK mulai mengusut kasus ini sejak Desember 2024 setelah menerima Laporan Hasil Analisis (LHA) dari PPATK dan melakukan serangkaian penggeledahan di kantor BI dan OJK sebelum akhirnya menetapkan dua tersangka pada Agustus 2025.
Skandal ini dinilai telah mencoreng wajah lembaga legislatif dan dunia perbankan nasional, serta merugikan masyarakat yang seharusnya menjadi penerima manfaat program sosial.