Menggugat Dosa Ekologis di Penghujung 2025

Oyisultra.com, KENDARI – Catatan Kelam Akhir Tahun. Penghujung tahun 2025 menjadi saksi bisu atas serangkaian bencana alam dahsyat yang melanda Indonesia, khususnya di wilayah Aceh dan sekitarnya. Banjir bandang dan tanah longsor bukan lagi sekadar siklus cuaca, melainkan manifestasi dari “kemurkaan” alam akibat eksploitasi yang ugal-ugalan.

Narasi force majeure (keadaan memaksa) yang sering didengungkan pemerintah kini kehilangan relevansinya ketika data menunjukkan bahwa bencana ini adalah Bencana Antropogenik bencana yang lahir dari rahim kebijakan yang tidak berpihak pada lingkungan dan ketamakan

Korban Jiwa: hingga 26 desember 2025 BNPB mencatat total korban meninggal dunia mencampai 1.137 jiwa dan ratus lain dinyatakan hilang

Kerusakan Lahan: Hilangnya tutupan hutan di kawasan hulu akibat izin Hak Guna Usaha (HGU) sawit dan pertambangan yang tidak terkendali.

Dampak Sosial: Ribuan warga kehilangan tempat tinggal dan akses ekonomi, di mana kelompok rentan (anak-anak dan lansia) menjadi korban paling terdampak oleh kebijakan elit yang hanya mementingkan akumulasi modal singkat.

Untuk menyeret pelaku perusakan lingkungan ke ranah hukum, kita menggunakan instrumen berikut:
UUD 1945 Pasal 28H ayat (1): Menegaskan hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

UU No. 32 Tahun 2009 (PPLH) jo. UU Cipta Kerja Pasal 88Tanggung jawab mutlak bagi korporasi yang kegiatannya menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup.

UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana: Kewajiban pemerintah untuk melakukan mitigasi dan perlindungan masyarakat dari risiko bencana.

Pasal 1365 KUHPerdata: Mengenai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain.

Analisis

Hubungan Kausalitas Korporasi dan Bencana. Secara yuridis, bencana di Aceh tahun 2025 tidak terjadi secara tiba-tiba. Terdapat hubungan sebab-akibat (causal verband) antara pemberian izin di kawasan lindung oleh elit politik dengan runtuhnya daya dukung lingkungan.

Pelanggaran Asas Keberlanjutan: Korporasi seringkali mengabaikan dokumen Amdal atau UKL-UPL demi menekan biaya operasional. Ketika alam tidak lagi mampu menahan laju air karena penggundulan hutan, korporasi harus bertanggung jawab secara perdata maupun pidana.

Kejahatan Korporasi: Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 13 Tahun 2016, korporasi dapat dipidana jika mereka membiarkan terjadinya tindak pidana lingkungan atau tidak mengambil langkah-langkah pencegahan yang diperlukan.

Dosa Elit dan Maladministrasi: Pejabat publik yang mengeluarkan izin di kawasan rawan bencana tanpa kajian risiko yang mendalam dapat digugat melalui mekanisme Citizen Lawsuit atau Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action).

Kesimpulan

Alam tidak sedang bertindak membabi buta tanpa alasan; ia sedang merespons ketidakadilan. Rakyat yang tidak berdosa tidak boleh terus menjadi tumbal dari aliansi jahat antara elit dan korporasi yang tidak ramah lingkungan.

Rekomendasi

Penegakan Strict Liability: Mendorong penegak hukum untuk tidak lagi menggunakan pembuktian kesalahan yang rumit, melainkan langsung menggunakan tanggung jawab mutlak bagi korporasi di area bencana. Restitusi Korban: Perusahaan yang beroperasi di wilayah terdampak wajib membayar kompensasi penuh atas kerugian material.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *