Omputo Sugi Manuru Layak Dijadikan Sebagai Nama Yonif TP di Kabupaten Muna

Oyisultra.com, MUNA – Pengantar Singkat. Rencana pembentukan Batalyon Infantri Teritorial Pembangunan (YONIF TP) di Kabupaten Muna patut kiranya mendapat dukungan banyak pihak. Saya berpikir bahwa nama YONIF TP mesti merujuk pada nama raja-raja Muna yang memiliki sifat teladan, arif, bijaksana, berani dan memiliki kebesaran serta sikap ksatria sesuai dengan nilai-nilai perjuangan TNI. Dan karenanya raja Muna yang diabadikan namanya untuk YONIF TP itu, sedikitpun tidak memiliki celah kontroversi yang berpotensi melahirkan perdebatan, melainkan harus benar-benar dipastikan dapat diterima oleh semua golongan masyarakat Muna dan elemen organisasi adat dan kemasyarakatan.

Dengan berbagai analisis dan pertimbangan, tanpa merendahkan, mengesampingkan dan atau mengecilkan raja-raja Muna lainnya, kiranya nama OMPUTO SUGI MANURU (Raja Muna ke-6) layak dijadikan sebagai nama YONIF TP yang akan dibentuk. Nama ini
merupakan entitas dari kerajaan Muna, dimana Omputo dimaknai sebagai raja, dan Sugi Manuru adalah nama dari raja Muna ke-6.

Dalam referensi lain (Couvreur 1935) dituliskan bahwa Sugi sesungguhnya bukanlah nama melainkan gelar, sementara Manuru (Batoa 1991) adalah subyek atau nama orangnya (La Manuru); meskipun dalam banyak diskusi sejarah masih diperdebatkan apakah Manuru itu nama atau gelar. Mengenai siapa sesungguhnya nama asli dari Sugi Manuru pada akhirnya tidak menjadi sesuatu yang penting untuk diperdebatkan karena semua orang Muna sepakat menyebut nama raja ke-6 nya adalah Sugi Manuru.

Omputo Sugi Manuru: Nama Yang Layak Untuk YONIF TP

Pengusulan Omputo Sugi Manuru sebagai nama YONIF TP yang akan dibentuk dengan pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, Omputo Sugi Manuru adalah raja Muna ke-6 yang merupakan turunan garis lurus laki-laki (Patrilinear) dari raja Muna ke-1 yang bergelar Bheteno ne Tombula. Silsilahnya: Omputo Sugi Manuru (Raja Muna ke-6) bin Sugi La Ende (Raja Muna ke-5) bin Sugi Patani (Raja Muna ke-4) bin Sugi Ambona (Raja Muna ke-3) bin Sugi Patola (Raja Muna ke-2) bin Remmang ri Langi bergelar Bheteno ne Tombula (Raja Muna ke1). Dan Sugi Manuru adalah salah satu diantara raja yang paling lama berkuasa selama 30 tahun.

Kedua, Sugi Manuru adalah bapak dari raja-raja Muna dan sultan Buton dimana anak dan cucu nya sebagai pelanjut raja-raja Muna dan raja serta sultan-sultan Buton. Diantara anak dan cucu-cucunya yang menjadi raja Muna dan raja/ sultan Buton adalah sebagai berikut: (1) La Kilaponto (anak Sugi Manuru) sebagai raja Muna ke-7, raja Buton ke-6, dan sultan Buton ke-1 dimana keturunannya lah melahirkan sultan-sultan Buton hingga kini, (2) La Posasu (anak Sugi Manuru) sebagai raja Muna ke-8, (3) Rampeisomba (anak Sugi Manuru) sebagai raja Muna ke-9, (4) Titakono (cucu Sugi Manuru) bin Rampeisomba bin Sugi Manuru sebagai raja Muna ke-10, (5) La Tumparasi (cucu Sugi Manuru) bin La Kilaponto bin Sugi Manuru sebagai sultan Buton ke-2, dan, (6) La Sangaji (cucu Sugi Manuru) bin La Kilaponto bin Sugi Manuru sebagai sultan Buton ke-3.

Ketiga, dimasanya Sugi Manuru membentuk 28 kampung baru sehingga total jumlah kampung
dimasa dia berkuasa adalah 36 kampung, dimana sebelumnya hanya ada 8 kampung. 36 kampung itulah cikal bakal terbentuknya sistem ghoera/ distrik/ kecamatan di Kabupaten Muna. 28 kampung yang dibentuk dimasa Sugi Manuru adalah Laghontohe, Labhoora, Bhombanawulu, La Kudo, Madawa, Laokusi, Lakologou, Labhongkuru, Latongku, Waleale, Lakawoghe, Laloea, Lasehao, Kasaka, Wasolangka, Laiba, Bhea, Rete, Lagadi, Wamelai, Watumela, Waulai, Lasosodo, Latompe, Loghia, Tobea, Mantobua dan Laiworu.

Keempat, Sugi Manuru adalah raja yang membentuk dan menetapkan 3 wilayah pertahanan luar kerajaan Muna, Yaitu: Lahontohe, Lohia dan Wasolangka. Ke-3 wilayah ini bersifat otonom (Bharata) dan bertanggungjawab penuh terhadap keamanan kerajaan dari gangguan yang datang dari luar (Pesisir pantai). Bharata Lahontohe dan Lohia bertanggung jawab pada wilayah timur kerajaan Muna (Selat Buton) dan Bharata Wasolangka bertanggung jawab pada bagian barat kerajaan Muna (Selat Tiworo). Ke-3 wilayah pertahanan ini baru bisa dibubarkan oleh Belanda pada 1910.

Kelima, untuk melindungi kerajaan Muna, Sugi Manuru membangun Benteng Loji yang posisinya dibagian barat gua Metanduno di desa Liangkobori. Ditahun 1989 kondisi benteng 65 % masih utuh (Thamrin 2019), yaitu; berupa susunan batu dengan ketinggian antara 3-5 meter, ketebalan kurang lebih 2 meter, dan keliling benteng sekitar 600 meter. Sugi Manuru juga adalah inisiator awal pembangunan benteng Kotano Wuna, yang kemudian ditindaklanjuti oleh anaknya Raja Muna ke-7 La Kilaponto dan kemudian pembangunannya diselesaikan dimasa Raja Muna ke-8 La Posasu bin Sugi Manuru.

Keenam, Sugi Manuru adalah pencetus awal semboyan hidup orang Muna, yaitu: Hansuru-Hansuru Badha Suamanomo Kono Hansuru Liwu, Hansuru-Hansuru Liwu Sumanomo Kono Hansuru Adhati, Hansuru-Hansuru Adhati Sumanomo Kono Hansuru Sara, Hansuru-Hansuru Sara Sumanomo Notangka Agama.

Artinya; hancur-hancurlah badan asal jangan hancur negeri, hancur-hancurlah negeri asal
jangan hancur adhat, hancur-hancurlah adhat asal jangan hancur pemimpin (pemerintah),
hancur-hancurlah pemimpin yang penting agama tegak. Semboyan ini kemudian diaplikasikan dan digaungkan oleh La Kilaponto baik saat menjadi raja Muna ke-7 maupun sebagai raja Buton ke-6 dan Sultan Buton ke-1.

Dalam konteks hancur-hancurlah pemimpin yang penting agama tegak, patut kiranya diketahui bahwa dimasa Sugi Manuru ajaran islam sudah masuk, namun belum sistematis sebagaimana dimasa La Kilaponto di Buton. Ajaran islam saat itu berfokus pada ajaran Tauhid. Salah satu bukti islam sudah masuk adalah penetapan golongan adat masyarakat dimasa itu oleh Sugi Manuru, yaitu; Kaomu dengan adat 20 Bhoka, Walaka dengan adat 10 Bhoka 10 Suku, Anangkolaki dengan adat 7 Bhoka 2 Suku, dan Wawono Liwu/ Kodasano 3 Bhoka 2 Suku, dimana makna dari angka-angka itu mengandung unsur hakikat sifat-sifat ALLAH SWT. Selain itu ditunjukkan dengan ciri khas makam para Sugi yang telah bernisan (Nisan kubur adalah bagian dari kebiasaan islam dalam pemakaman jenazah).

Ketujuh, Sugi Manuru adalah raja Muna yang menetapkan penggolongan orang Muna kedalam 4 golongan adat, yaitu: golongan Kaomu, golongan Walaka, golongan Anangkolaki, dan golongan Wawono Liwu/Kodasano. Dalam konteks adat orang Muna khususnya terkait adat pernikahan dan kematian misalnya, selalu merujuk pada aturan dan nilai-nilai adat yang ditetapkan oleh Sugi Manuru.

Penggolongan orang Muna kedalam 4 golongan sebagaimana tersebut diatas menjadikannya raja yang digelari Mepasokino Adhatino Wuna (yang menetapkan adatnya Wuna). Potensi Raja Muna Lain Dan Kelemahannya Untuk Dijadikan Nama Yonif Diluar nama Omputo Sugi Manuru, barangkali hanya ada 1 orang Raja Muna yang dapat diusung namanya menjadi nama YONIF TP di Kabupaten Muna, yaitu: Omputo La
Kilaponto dengan gelarnya Mepokandua Ghoono Ghoera (raja Muna ke-7).

Hanya saja, meskipun La Kilaponto telah menjadi simbol pemersatu kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara namun tetap mempunyai titik lemah yang bisa mengundang kontroversi.

Pertama, La Kilaponto menjadi Raja Muna hanya 3 tahun. Dengan hanya memerintah selama 3 tahun mustahil La Kilaponto dapat membangun kebesaran nya di kerajaan Muna, yang tidak sebagaimana bapaknya Raja Muna ke-6 Sugi Manuru yang berkuasa selama 30 tahun.

Kedua, dalam buku Couvreur (1935) dengan judul Etnografisch Overzicht van Moena disebutkan bahwa La Kilaponto menginisiasi pembangunan benteng Kotano Wuna sepanjang
8.073 meter dengan garis tengah 3.180 meter. Tinggi tembok 4 meter dengan tebal 3 meter. Jika merujuk pada benteng Buton yang panjangnya hanya 2.740 dengan tinggi 2 hingga 8 meter dan ketebalan 1-2 meter yang dibangun tidak kurang dari 61 tahun, yaitu; dimulai dari masa Sultan Buton ke-3 La Sangaji hingga diselesaikan dimasa Sultan Buton ke-6 La Buke.
Selanjutnya, jika dihitung sejak awal diangkatnya La Sangaji pada 1584 hingga akhir masa pemerintahan Sultan La Buke pada 1645 maka benteng keraton Buton dibangun selama kurang lebih 61 tahun.

Artinya pembangunan benteng Kotano Wuna sebagaimana disebutkan dalam buku Couvreur (1935) dilakukan oleh La Kilaponto adalah tidak logis karena masa kekuasaan La Kilaponto di Muna sangat pendek hanya 3 tahun. Dalam konteks itu maka pembangunan benteng Kotano Wuna menurut saya mulai dilakukan dimasa Raja Muna ke-5 Sugi Laende dan diselesaikan dimasa Raja Muna ke-8 La Posasu. Dalam banyak referensi sejarah disebutkan Sugi La Ende telah membangun benteng Muna diwilayah pesisir timur Muna. Artinya
kebiasaan membangun benteng ini sudah dilakukan dimasa Sugi La Ende, dan juga Sugi Manuru yang adalah kakek dan bapak dari La Kilaponto.

Ketiga, La Kilaponto bergelar Murhum menjadi raja Buton ke-6 dan sultan Buton ke1, lebih dikenal namanya sebagai raja dan sultan Buton sehingga namanya diabadikan sebagai nama pelabuhan bau-bau (Pelabuhan Murhum). Kebesaran dan kejayaan La Kilaponto puncaknya ada di Buton, yakni menjadi raja Buton ke-6 pada tahun 1491-1511, dan sultan Buton ke-1 pada tahun 1511-1537.

Artinya La Kilaponto berkuasa di Buton selama 46 tahun sejak 1491-1537. Karenanya adalah tidak logis dan fair membawa kejayaan dan kebesaran La Kilaponto di Buton ke Muna meskipun dia adalah anak dari Sugi Manuru. Apalagi sebelum La Kilaponto diangkat menjadi raja Buton, La Kilaponto selalu ditugaskan oleh Sugi Manuru membangun kerjasama dengan kerajaan sekitar mulai dari Tiworo, Konawe, Buton bahkan sampai ke Banggai dan Selayar. Dalam konteks itu maka sebenarnya kebesaran La Kilaponto di Muna tidak sebesar Sugi Manuru.

Keempat, benar atau tidaknya, kontroversi terhadap La Kilaponto adalah adanya informasi yang menyebutkan La Kilaponto Incest dengan saudaranya Wa Pogo. Catatan ini selain bersumber dari tradisi lisan orang tua di Muna, juga bersumber dari buku berjudul Sejarah Terjadinya Negeri Buton Dan Negeri Muna, yang disusun oleh Ahmadi dkk (tahun
bukunya tidak tertulis), dimana buku itu disebut juga sebagai buku Tambaga. Dalam pengantarnya, buku itu menjelaskan bahwa buku Tambaga merupakan penulisan ulang dari buku yang judul aslinya adalah Assajaru Huliqa Daarul Bathniy Wa Daarul Munajat, yang dialih bahasakan oleh ustadz Akbar Maulana Sayyid Abdul Rahman Hadad di Gresik pada tahun 1863 Masehi.

Kelima, La Kilaponto adalah penyebab lepasnya kampung Bhombanawulu dan La Kudo dimana sekarang ini adalah wilayah Kabupaten Buton Tengah. Saat pemerintahan La Posasu (Raja Muna ke-8) masyarakat Bhombanawulu dan La Kudo tidak mau mengakui La Posasu sebagai raja Muna. Dalam buku yang berjudul Wuna Dalam Endapan sejarah dan Budaya (Thamrin 2019) dijelaskan bahwa naiknya La Posasu sebagai raja Muna ke-8 tidak disetujui dan ditentang oleh masyarakat Bhombanawulu dan La Kudo, yang saat itu kepala kampung Bhombana Wulu adalah La Kolipopota dan kepala kampung La Kudo adalah La Tenderidatu. Bahkan mereka tidak mau terlibat dalam penyelesaian pembangunan benteng Kotano Wuna yang dianggap menyiksa mereka. Sebagai catatan bahwa La Kalipopota dan La Tenderidatu adalah anak dari Raja Muna ke-6 Sugi Manuru dan atau saudara La Posasu dan juga La Kilaponto.

Peristiwa penolakan itu kemudian melahirkan perang antara La Posasu dengan masyarakat Bhombanawulu dan La Kudo yang berlindung dibawah kekuatan La Kilaponto di
Buton, hingga melahirkan perjanjian Kapeo-peo diantara Raja Muna ke-8 La Posasu sebagai adik, dan Raja Buton ke-6 dan Sultan Buton ke-1 La Kilaponto sebagai kakak. Salah satu
kesepakatan dalam perjanjian itu, selain ke-2 kerajaan ini saling membantu sebagai saudara
(Muna-Buton) juga hal terpenting adalah Bhombanawulu dan La Kudo keluar dari wilayah kekuasaan kerajaan Muna dan menjadi bagian dari kerajaan Buton.

Peristiwa itu menjadikan orang-orang Muna tidak simpati lagi pada La Kilaponto yang dianggap mendorong dan meminta masyarakat Bhombanawulu dan La Kudo untuk masuk menjadi bagian dalam wilayah kekuasaannya di kerajaan Buton. Adapun dalam buku Batoa (1991) berjudul Sejarah Kerajaan Daerah Muna bahwa pelepasan Bhombanawulu dan La Kudo ditukar dengan Kulisusu (sekarang jadi Kabupaten Buton Utara) adalah tidak logis dan tidak benar.

Dalam konteks itu, patut kiranya diketahui bahwa Raja ke-1 di kerajaan Kulisusu adalah La Odeode (semasa dengan Raja Muna ke-13 Sangia Latugho) yang merupakan anak dari Sultan Buton ke-6 Dayanu Ikhsanuddin, dimana kerajaan Kulisusu sampai dimasa itu tunduk pada kesultanan Buton dan menjadi bagian dari kesultanan Buton hingga era kemerdekaan. Kulisusu (sekarang ini Kabupaten Buton Utara) masuk menjadi bagian dari Kabupaten Muna dimasa awal pembentukan Kabupaten Muna pada tahun 1959 (Thamrin 2019).

Penulis: Dr. (Can) La Ode Muhammad Rabiali, S. Hut, M. Sc (Pemerhati Adat, Sejarah dan Budaya Muna)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *