Oyisultra.com, KENDARI — Puluhan tahun tertunda, sengketa lahan 25 hektare di kawasan Jalan Bypass Kendari segera dieksekusi. Kuasa Khusus Koperasi Perikanan/Perempangan Saonanto (Kopperson), Fianus Arung, menyebut eksekusi akan berlangsung 15 Oktober 2025.
Eksekusi ini merujuk pada putusan perkara Perdata Nomor 48/Pdt.G/1993/PN Kdi yang telah berkekuatan hukum tetap. Objek sengketa mencakup lahan dengan sejumlah bangunan besar, di antaranya Rumah Sakit Aliyah, Hotel Zahra, Gudang Avian, dan PT Askon.
“Ini barang sudah inkrah, sudah berkekuatan hukum tetap. Kami akan tetap mengawal kasus ini. 2018 tidak terjadi, 1996 batal eksekusi. Semoga 2025 ini bisa terjadi dan eksekusi selesai,” kata Fianus Arung dikutip dari Sultrust.com.
Fianus menjelaskan, pihaknya telah meminta Pengadilan Negeri Kendari menerbitkan surat penentuan batas lahan untuk Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Desakan juga dilayangkan ke BPN Provinsi Sulawesi Tenggara agar segera menindaklanjuti data yang disebut berada di Kanwil. Ancaman pidana menanti bagi pihak yang mencoba menghalangi.
“Undang-undangnya jelas, siapapun yang menghalangi pejabat negara untuk melaksanakan tugasnya dalam hal ini eksekusi, maka pidana atau perdata menanti. Ini perintah negara yang harus segera dilaksanakan,” Tegas Fianus.
Pengadilan Negeri Kendari menjadwalkan tahap awal berupa pencocokan dan pemasangan patok batas Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) No. 1 Tahun 1981 atas nama Kopperson. Agenda ini akan digelar 15 Oktober 2025 pukul 09.00 Wita di Jalan Bypass, sekitar SPBU Tapak Kuda, Kecamatan Mandonga.
Surat penetapan yang ditandatangani Ketua Pengadilan Negeri Kendari, Safri, juga meminta BPN Kota Kendari membantu memastikan pelaksanaan eksekusi tanpa kekeliruan teknis
Menanggapi hal tersebut, Kuasa hukum Hotel Zahra, M. Kamal S. SH MH menegaskan pihaknya menolak penunjukan batas (konstatering) yang akan dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) atas objek sengketa tersebut.
Kamal menjelaskan, pihaknya resmi menerima kuasa hukum pada 2 Oktober 2025 dan langsung mengawal proses konstatering yang dijadwalkan BPN.
Menurutnya, langkah BPN ini sudah pernah direncanakan sebelumnya pada 2018, namun gagal terlaksana lantaran pemohon eksekusi tidak dapat menunjukkan batas-batas tanah yang disengketakan.
“Dulu pengadilan meminta ditunjukkan di mana letak batas lahan itu. Karena BPN memang punya kewenangan, tapi penunjukan tetap harus dilakukan oleh pemilik objek. Sampai sekarang pun belum jelas batasnya,” kata Kamal saat dikonfirmasi awak media, Jumat (3/10/2025).
Ia menambahkan, berdasarkan prediksi dan informasi yang berkembang, titik sengketa berada pada area yang kini berdiri Hotel Zahra. Namun pihaknya menolak keras jika batas ditentukan secara sepihak.
“Intinya pihak Hotel Zahra menolak penunjukan batas, karena kami juga punya batas yang dipasang langsung oleh BPN sesuai Sertifikat Hak Milik (SHM) yang kami pegang saat membeli lahan. Jadi tidak bisa seenaknya dipatok ulang,” tegasnya.
Lebih lanjut, Kamal menekankan bahwa meski Hak Guna Usaha (HGU) milik Hotel Zahra sudah berakhir, status HGU milik Kopperson yang diklaim sebagai pemohon juga dianggap tidak lagi berlaku karena seluruh pengurusnya telah meninggal dunia.
“Kalau bicara HGU, HGU Zahra memang sudah berakhir, tapi HGU Kopperson juga sama sudah berakhir. Jadi tidak ada dasar hukum untuk klaim itu,” jelasnya.
Ia menegaskan, pihaknya membeli lahan tersebut dengan itikad baik dan berlandaskan sertifikat resmi dari BPN. Karena itu, pemasangan patok tanpa dasar hukum yang jelas akan ditolak dan digugat.
“Yang jelas, BPN tidak mungkin mau mengeluarkan sertifikat di atas lahan HGU yang masih berlaku. Kalau nanti dipaksakan pemasangan patok, kami pasti akan melakukan upaya hukum,” tandasnya.
Meski demikian, Kamal menyebut konstatering yang dilakukan BPN masih bersifat pra eksekusi. “Ini hanya pra eksekusi sepanjang pihak pemohon bisa menunjukkan batas-batasnya. Kalau tidak jelas, ya tidak bisa dilanjutkan,” pungkasnya.