Oyisultra.com, KENDARI — PT Tambang Indonesia Sejahtera (TIS), perusahaan tambang yang beroperasi di Kecamatan Lainea, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, diduga melakukan aktivitas ilegal setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan bukaan hutan tanpa izin serta belum menempatkan jaminan reklamasi. Perusahaan ini juga dituding menyerobot lahan warga.
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI tahun 2024 mencatat indikasi serius pelanggaran kehutanan oleh PT TIS. Dalam laporan bernomor 13/LHP/XVII/05/2024 tertanggal 20 Mei, Auditorat Keuangan Negara IV menemukan bukaan kawasan hutan seluas 155,26 hektare tanpa Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
Rinciannya, 150,13 hektare berada di Areal Penggunaan Lain (APL), sementara 5,13 hektare masuk kawasan Hutan Lindung (HL). Selain itu, PT TIS belum menempatkan Jaminan Reklamasi (Jamrek) dan Pascatambang, kewajiban yang seharusnya dipenuhi untuk menjamin pemulihan lingkungan setelah aktivitas pertambangan.
Perusahaan ini dimiliki oleh empat pemegang saham, yakni Maniana sebagai Komisaris Utama, Rahyun Nidjo sebagai Komisaris, La Ode Kais, dan Wa Ode Suliana yang menjabat Direktur Utama sekaligus Direktur.
Masalah PT TIS semakin mencuat setelah adanya pengaduan masyarakat Desa Bagung Jaya yang mengaku lahannya diserobot perusahaan.
Aliansi Rakyat Pemerhati Keadilan (ARPEKA) mendampingi warga melapor ke DPRD Sulawesi Tenggara pada Selasa (2/9/2025).
Koordinator Lapangan ARPEKA, Immawan Azman, menegaskan perusahaan menggusur lahan tanpa dasar hukum.
“Aktivitas PT TIS dalam praktiknya, tanpa memperlihatkan surat yang jelas dan tidak ada pemberitahuan kepada masyarakat setempat, tiba-tiba langsung menggusur dan melakukan aktivitas pertambangan,” ujarnya.

Aksi berlangsung tertib dan diterima langsung oleh perwakilan dari Komisi I dan III DPRD Sultra.
Yut Sunarto, salah satu perwakilan warga, memaparkan bahwa konflik bermula ketika PT TIS mengklaim lahan seluas 800 hektare (Ha) di desa mereka.
“Dari 800 Ha itu, 400 Ha di antaranya adalah lahan bersertifikat milik warga. Kami sudah menggarapnya turun-temurun, tiba-tiba perusahaan masuk dan mengklaimnya,” tegas Sunarto.
Ia juga mengungkapkan tekanan yang diterima warga. Perusahaan dilaporkan kerap melaporkan warga yang menggarap lahan ke kepolisian.
“Saya sendiri sudah dua kali dipanggil Polda Sultra karena dianggap menggarap lahan perusahaan. Padahal ini lahan kami sendiri yang punya sertifikat,” keluhnya.
Menyikapi aspirasi warga, Anggota Komisi III DPRD Sultra, H Abd Halik, menjelaskan bahwa pihaknya akan segera mengambil langkah konkret.
“Kami dari Komisi I dan III telah menerima aspirasi masyarakat. Inti permasalahannya adalah hak atas tanah warga yang diambil perusahaan, serta adanya kepala desa yang justru di tersangkakan karena dianggap menghalangi aktivitas tambang,” jelas Halik.
Halik menyatakan bahwa DPRD akan memfasilitasi pertemuan seluruh pihak terkait melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang rencananya digelar pada 9 September 2025 mendatang.
“Kita akan menghadirkan semua pihak, mulai dari dinas pertambangan, kehutanan, perizinan, hingga kepolisian. Kita akan bahas dari segi legalitas pertambangan, AMDAL, serta keabsahan sertifikat warga,” ujarnya.
Lebih lanjut, Halik mengungkapkan adanya indikasi kuat bahwa proses perizinan tambang diduga cacat prosedur.
“Menurut penuturan warga, tidak pernah ada sosialisasi AMDAL. Bahkan, pengukuran lahan seolah hanya dilakukan di atas meja tanpa verifikasi lapangan yang melibatkan masyarakat setempat,” tambahnya.
Kasus ini menambah daftar panjang persoalan sektor pertambangan di Sulawesi Tenggara, yang kerap diwarnai persoalan perizinan, kerusakan lingkungan, dan konflik agraria dengan masyarakat.